Oleh: Irvan Nasir
Dikirim Belanda untuk menyelidiki Sarekat Islam, tapi justru membuka jalan bagi kebangkitan nasional. Inilah kisah cerdas H Agus Salim - seorang penyelidik - yang mengubah arah sejarah bangsa
PADA tahun 1915, di tengah gejolak politik dunia akibat Perang Dunia I, Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Timur dihantui oleh ketakutan baru: kemungkinan munculnya gerakan Pan-Islamisme yang bersekutu dengan Jerman dan Turki Utsmani untuk menggulingkan kekuasaan mereka. Dalam pusaran kecemasan itulah, muncul nama seorang tokoh muda berbakat: Haji Agus Salim.
- Baca Juga Meranti Gelap (?)
Robert van Niel dalam karya klasiknya The Emergence of the Modern Indonesian Elite mencatat bahwa H Agus Salim pada waktu itu bekerja untuk Pemerintah Hindia Belanda sebagai “penyelidik”. Tugasnya tidak main-main, menyelidiki isu sensitif bahwa Sarekat Islam, organisasi yang sedang naik daun di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto, diduga menjadi pusat pergerakan yang hendak melakukan pemberontakan dengan dukungan Jerman.
Pertanyaannya: apakah H Agus Salim saat itu bertindak sebagai intel kolonial, auditor independen, atau sekadar penerjemah yang berfungsi sebagai perantara komunikasi politik?
Sebagai tokoh yang menguasai sembilan bahasa, pernah bekerja di konsulat Belanda di Jeddah, dan memahami geopolitik dunia Islam, Agus Salim jelas bukan orang sembarangan. Ia memahami pergerakan ide Pan-Islamisme yang sedang bergolak di Timur Tengah; sebuah gagasan bahwa seluruh dunia Islam harus bersatu melawan penjajahan Barat. Pemerintah Belanda, yang paranoid terhadap potensi pemberontakan, membutuhkan sosok seperti dia: terdidik, berwawasan luas, dan bisa diterima di kalangan pribumi terpelajar.
Dalam catatan arsip kolonial Belanda, disebutkan bahwa rumor itu bermula dari laporan intelijen di Jawa dan Sumatra yang menduga adanya jaringan simpatisan Jerman dan Turki di Hindia Belanda. Sarekat Islam, dengan basis massa yang luas dan semangat keislaman yang kuat, dicurigai menjadi simpul utama. Maka, H. Agus Salim dikirim untuk melakukan fact finding; semacam penyelidikan internal untuk menilai apakah tuduhan itu benar adanya.
Namun di sinilah sejarah berbalik arah.
Alih-alih memperkuat tuduhan pemerintah kolonial, laporan Agus Salim justru membela Sarekat Islam. Ia menegaskan bahwa organisasi itu bukan alat kekerasan atau persekongkolan asing, melainkan gerakan sosial yang menuntut keadilan ekonomi dan politik bagi bumi putra. Kesimpulan itu meredam paranoia pemerintah, dan sekaligus membuka jalan bagi Agus Salim untuk berperan lebih besar di dalam Sarekat Islam sendiri.
Tidak lama setelahnya, H. Agus Salim malah bergabung penuh dalam Sarekat Islam, dan menjadi tangan kanan Tjokroaminoto. Dari seorang “penyelidik” yang dikirim untuk menguji loyalitas, ia berubah menjadi ideolog yang memperkuat pergerakan Islam dan nasionalisme modern Indonesia.
Secara moral dan politik, momen tahun 1915 itu sangat penting. Ia menandai transformasi seorang intelektual kolonial menjadi pejuang kebangsaan. Di sinilah tampak kecerdikan khas Agus Salim: ia menggunakan posisinya dalam sistem kolonial bukan untuk melayani, tetapi untuk membaca dan membelokkan arah sejarah.
Bila ia benar-benar seorang “telik sandi”, sebuah istilah Melayu untuk mata-mata; maka ia adalah mata-mata yang membalikkan makna tugasnya. Dari penyelidik yang dikirim oleh Belanda, ia menjadi pembuka mata bagi bangsanya sendiri. Dari telik sandi penjajah, menjadi sandi moral bagi kemerdekaan.
Kecerdasan politiknya terlihat jelas dalam strategi bahasa. Ia paham betul bahwa yang harus diserang bukan senjatanya, tapi wacana dan prasangkanya. Ia melawan narasi ketakutan kolonial dengan narasi rasional: bahwa Islam di Hindia bukan ancaman, melainkan energi moral yang bisa menuntun bangsa menuju martabat dan kemajuan.
Bisa dikatakan, tanpa penyelidikan itu, Agus Salim mungkin tak akan sedekat itu dengan Sarekat Islam. Dan tanpa perjumpaan ideologis itu, Sarekat Islam tak akan memiliki fondasi intelektual sekuat yang kemudian ia berikan; terutama dalam menegosiasikan hubungan antara agama dan politik modern.
Dalam kaca mata sejarah kolonial, kisah ini menarik karena menunjukkan betapa tipisnya garis batas antara “pegawai” dan “perlawanan”. Banyak tokoh pergerakan nasional generasi awal memang berawal dari struktur kolonial: ambtenaar, penerjemah, guru, bahkan jaksa. Tapi dari dalam sistem itulah mereka belajar membaca logika kekuasaan Barat dan menemukan celah untuk melawannya.
Agus Salim adalah contoh paling cemerlang dari transformasi itu. Ia masuk ke sistem, mempelajari mekanismenya, lalu menggunakan pengetahuan itu untuk membangun kesadaran nasional baru.
Dengan demikian, tuduhan bahwa ia pernah menjadi “intel Belanda” justru mempertegas kecerdikan politiknya. Ia bukan sekadar agen informasi, tetapi agen perubahan, yaitu orang yang tahu kapan harus menyamar, dan kapan harus menyuarakan kebenaran.
Sejarah Indonesia modern sering kali dimulai dari perlawanan terbuka, tapi jarang kita menghargai perlawanan yang lahir dari penguasaan sistem. Haji Agus Salim menunjukkan bahwa kadang, cara paling tajam untuk melawan adalah dengan mengenali musuh dari dalam.
Dan dari sanalah, sejarah bangsa ini mulai menemukan arah baru — bukan dari moncong senjata, melainkan dari tajamnya pena dan jernihnya akal seorang “telik sandi” yang membalikkan sejarah. (*)