Meranti Gelap (?)

Meranti Gelap (?)

Oleh: Irvan Nasir

PEMADAMAN listrik di Kepulauan Meranti bukan lagi berita baru. Ia sudah menjadi kisah lama yang terus diulang dengan narasi berbeda: mesin rusak, daya kurang, jaringan terganggu. Tapi di balik dalih teknis itu tersembunyi akar masalah yang jauh lebih dalam; gelap yang bersifat struktural.

Masalah listrik di Meranti tidak sesederhana satu atau dua mesin pembangkit yang mogok. Ia mencerminkan kegagalan sistemik dalam tata kelola energi di daerah kepulauan. Kita terlalu lama hidup dengan logika tambal-sulam: memperbaiki mesin, lalu berharap semuanya pulih. Padahal, akar kerusakannya ada pada perencanaan yang tak berjangka panjang, komunikasi yang tidak transparan, dan absennya mekanisme akuntabilitas publik terhadap layanan dasar.

PLN di Selatpanjang sejatinya bekerja dalam keterbatasan. Logistik bahan bakar, suku cadang, dan teknisi semua tergantung jalur laut. Namun, di sinilah pentingnya intervensi kebijakan yang terencana, bukan sekadar reaktif. Sudah saatnya pemerintah daerah duduk satu meja dengan PLN, pemerintah provinsi, dan kementerian terkait untuk menyusun peta jalan energi Meranti yang memuat tiga hal utama:

Pertama, audit menyeluruh atas kapasitas pembangkit dan jaringan distribusi. Berapa sesungguhnya daya terpasang, berapa kebutuhan riil harian, dan di mana titik-titik rawan padam? Tanpa data terbuka, semua perbaikan hanya bersifat tebakan. Kebijakan reaktif.

Kedua, diversifikasi sumber energi. Mengandalkan PLTD semata di era transisi energi adalah langkah mundur. Meranti yang dikelilingi laut seharusnya mulai menjajaki pembangkit hybrid diesel, teknologi yg sedang berkembang. Teknologinya ada, tinggal kemauan politik yang sering hilang.

Ketiga, mekanisme tanggung jawab publik. PLN tidak bisa terus bersembunyi di balik istilah teknis. Masyarakat berhak tahu jadwal pemeliharaan, rencana penambahan daya, dan waktu pasti pemulihan. Dalam era digital, hal-hal seperti ini seharusnya transparan dan bisa diakses siapa saja.

Bila hal-hal mendasar ini tidak dilakukan, maka gelap akan terus menjadi bagian dari hidup warga Meranti. Yang padam bukan hanya lampu rumah, tapi juga semangat wirausaha, produktivitas, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

Masalah listrik adalah masalah peradaban. Ia menentukan apakah sebuah daerah siap melangkah ke masa depan atau tetap tertinggal di masa lalu. Karena itu, sudah waktunya Meranti tidak hanya menunggu terang datang dari PLN, tapi mulai menyalakan sendiri cahaya perubahan lewat kebijakan yang berpihak, transparan, dan berjangka panjang.

Gelap Meranti bukan kutukan. Ia hanya tanda bahwa kita belum cukup serius menyalakan cahaya.

Masihkah Kepulauan Meranti merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? (*)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index