MERANTI MENYALA: HOME COMING BARU DARI KAMPUNG TERUS

MERANTI MENYALA: HOME COMING BARU DARI KAMPUNG TERUS
Irvan Nasir

Oleh: Irvan Nasir

KAMPUNG Terus Desa Ketapang tiba-tiba menjadi buah bibir seluruh Kepulauan Meranti. Tahun ini, ulang tahun Kelenteng Hoe Liong Kiong yang memuja Dewa Toa Pek Kong berubah dari perayaan rutin menjadi sebuah panggung besar yang mempertemukan budaya, ekonomi, dan nostalgia dalam skala yang belum pernah dibayangkan. 

Di bawah langit senja pesisir, Kampung Terus tiba-tiba menjelma menjadi pusat energi baru, sebuah ruang di mana diaspora yang tersebar di Batam, Pekanbaru, Karimun sampai Singapura kembali ke kampung halaman dengan kebanggaan yang tak bisa ditebus oleh jarak maupun waktu.

Kemeriahan dimulai ketika rombongan artis Mandarin tampil dengan tata panggung spektakuler. Entah dari Taiwan, Malaysia, atau Hong Kong, para penampil itu mengubah halaman kelenteng menjadi arena pertunjukan internasional. 

Ribuan warga dari desa sekitar tumpah ruah menyaksikan aksi panggung yang menggelegar. Tidak ada yang menyangka: sebuah desa pesisir yang sunyi mampu menjadi tuan rumah pergelaran budaya berkelas seperti itu.

Namun malam itu menjadi lebih bersejarah ketika sebuah liontin keluarga tua dilelang terbuka. Nilainya mencapai 1 miliar rupiah, angka yang membuat hadirin terdiam sebelum akhirnya tepuk tangan meledak di seluruh halaman. 

Bukan hanya soal uangnya; lebih dari itu, momentum tersebut menegaskan bahwa anak-anak Meranti yang sukses di perantauan tetap memelihara ikatan batin dengan tanah kelahiran mereka. Liontin itu bukan sekadar logam dan batu, melainkan simbol cinta kampung halaman yang tak lekang.

Pun drawing bagi para dermawan yang menyumbang berhadiah mulai dari mobil Toyota Calya sampai Iphone 17 seri terbaru.

Kejutan sebelumnya justru datang dari laut. Tiga unit kapal trimaran mewah, “Batam Emerald” dan dibarengi tujuh unit jetski melenggang dari Batam merapat dengan anggun di tepi Kuala Terus. 

Rombongan diaspora dari Batam dan Singapura turun satu per satu dengan wajah cerah, disambut hangat warga kampung. Kapal itu biasanya terlihat di marina eksklusif, bukan di perairan kecil pesisir. Namun kehadirannya mengirim pesan kuat: Meranti layak dikunjungi, layak dibanggakan, dan layak dirayakan.

Fenomena di Kampung  Terus merupakan bukti bahwa ekonomi daerah tak selalu harus bergantung pada APBD besar atau megaproyek infrastruktur. 

Ada kekuatan ekonomi berbasis budaya dan nostalgia yang tak bisa diremehkan. Ketika diaspora pulang, mereka membawa bukan hanya uang belanja, tetapi juga energi positif bagi UMKM lokal, tukang ojek, warung kopi, jasa dekorasi, hingga pedagang kuliner malam. Perputaran uang meningkat, peluang tumbuh, dan rasa percaya diri masyarakat ikut terangkat.

Yang lebih menarik, gelombang pulang kampung seperti ini bukan kejadian tunggal. Meranti menyimpan tiga event home coming besar yang sudah hidup puluhan tahun dan siap dioptimalkan sebagai mesin ekonomi daerah.

Pertama, Idulfitri dengan tradisi Festival Colok, sebuah pesta cahaya rakyat Melayu yang mampu membuat kampung-kampung memancarkan keindahan malam. Puluhan ribu pemudik kembali setiap tahun, menjadikan ekonomi malam bergeliat dan UMKM kuliner mencapai omzet tertingginya.

Kedua, Cheng Beng, momentum spiritual diaspora Tionghoa Meranti. Ini bukan sekadar ziarah kubur, tetapi saat nostalgia, bakti, dan kebanggaan bersatu. Banyak diaspora memanfaatkan pulang kampung ini untuk renovasi rumah orang tua, membantu keluarga, hingga melakukan donasi ke sekolah atau tempat ibadah. Dampak ekonominya sangat besar dan langsung menyentuh masyarakat bawah.

Ketiga, Imlek dengan Cap Go Meh plus Festival Air - Cian Cui; perayaan budaya yang selalu membawa suasana meriah di kota Selatpanjang dan sekitarnya. Barongsai, atraksi budaya peranakan, pasar malam, dan kumpul keluarga menjadikan Imlek sebagai salah satu momen belanja terbesar sepanjang tahun.

Jika ketiga gelombang ini, ditambah fenomena ikonik dari Kuala Terus, dikelola dalam satu kerangka besar seperti Meranti Reunion Festival, maka Meranti berpeluang besar menjadi kabupaten dengan model “Home Coming Tourism” paling menarik di setidaknya di Riau. 

Sebuah konsep yang tidak membutuhkan resor mewah atau atraksi mahal, tetapi bertumpu pada yang paling mendasar: kerinduan, akar budaya, dan ikatan emosional antara masyarakat dan tanah asalnya.

Event home coming adalah aset ekonomi. Ia tumbuh dari budaya, diperkuat oleh keluarga, dan menghidupkan ekonomi lokal tanpa memerlukan investasi besar. 

Kampung Terus membuktikan hal itu. Dengan dukungan kebijakan yang terarah, festival-festival ini dapat menjadi sumber daya unggulan Meranti, baik untuk memperkuat ekonomi masyarakat maupun mempertegas identitas daerah.

Pada akhirnya, yang membuat Meranti tetap hidup bukan semata-mata nilai lelang miliaran atau kapal mewah yang merapat. Yang membuat Meranti menyala adalah rasa rindu yang tidak pernah padam. 

Rindu anak rantau yang ingin kembali, melihat kampungnya tumbuh, berkontribusi dengan caranya sendiri, dan membawa pulang cerita bahwa Meranti, betapapun kecilnya, selalu berarti.

Kampung Terus hanya permulaan. Meranti sudah menemukan denyut barunya. Dan kalau momentum ini dirawat, kelak seluruh dunia akan tahu: Meranti bukan hanya tempat pulang, tetapi tempat yang selalu memanggil pulang.

Ayo Meranti, bergeraklah!  (*)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index