Oleh: Irvan Nasir
_Ketika sejarah jadi alasan, dan Tuhan dijadikan makelar tanah._
BAYANGKAN pagi-pagi buta. Mata baru terbuka separuh, tangan masih mencari tombol “snooze” di ponsel.
Tiba-tiba—BRAAAK!—pintu kamar kita didobrak.
Seseorang berlari masuk, berteriak lantang: "Keluar kamu! Ini kamar saya!”
Kamu yang masih setengah sadar, menatapnya dengan bingung. “Kamar kamu? Ini rumah saya, dari dulu.”
Dia tersenyum percaya diri. “Tidak. Tuhan sudah menjanjikan kamar ini kepada leluhur saya tiga ribu tahun yang lalu.”
Kamu pasti bengong. Mau tertawa, takut dosa. Mau marah, nanti dibilang kafir. Mau ngusir, bisa-bisa kamu yang dituduh menyerang.
Akhirnya kamu menyerah: duduk di pojokan, sementara si pendobrak mulai menata koper, menggantung pakaian, dan mengundang teman-temannya ikut tinggal disitu.
“Tenang,” katanya lembut tapi sinis, “kamu masih boleh di dapur. Asal jangan banyak protes.”
Lucunya, dunia menonton kejadian itu sambil bertepuk tangan.
Sebagian datang membawa perabot, membantu si pendobrak memperluas kamarnya. Ada yang berkata seolah bijak, “Kasihan, dia sudah lama kehilangan rumah.”
Ada pula yang menepuk pundakmu dan berpesan, “Sabar, demi perdamaian.”
Kamu ingin berteriak, tapi suaramu dikalahkan oleh kamera, mikrofon, dan media internasional yang hanya menayangkan satu sisi cerita. Dan anehnya, dalam berita malam, kamu disebut “pengacau” dan “pengancam keamanan”.
Padahal kamu hanya bertahan di kasurmu sendiri.
Kisah absurd ini memang terdengar seperti fiksi. Tapi begitulah cara dunia bekerja ketika sejarah dijadikan senjata, dan kitab suci dijadikan sertifikat kepemilikan tanah. Seseorang datang membawa peta dan keyakinan, lalu berkata: “Tanah ini milik kami, karena Tuhan sudah menjanjikannya ribuan tahun lalu.”
Tiba-tiba, yang sudah tinggal di sana berabad-abad berubah status: penyewa ilegal.
Yang diusir jadi pelaku kekerasan. Yang bertahan dianggap teroris.
Dan semua orang pura-pura netral, padahal kita tahu ke mana simpati, senjata, dan uang itu mengalir.
Bayangkan kalau logika “janji Tuhan” itu dipakai di kehidupan kita.
Kamu lagi makan di warung, lalu seseorang datang bilang: “Bangku ini sudah dijanjikan Tuhan kepada leluhur saya. Minggir.”
Atau kamu baru duduk di halte, lalu diserobot orang yang berkata: “Tempat ini disucikan nenek moyang saya. Jadi ini wilayah kami.”
Lucu? Ya. Tapi di dunia nyata, logika sesat itu dilegalkan. Bahkan dipersenjatai.
Kita ini hidup di zaman yang aneh. Manusia bisa membuat roket ke Mars, tapi belum bisa memahami kalimat sederhana: rumah orang tidak boleh direbut.
Kita punya hukum internasional, tapi tak ada yang berani menegakkannya kalau pelakunya kuat.
Kita punya Dewan Keamanan, tapi justru yang aman hanya mereka yang duduk di sana.
Kita bangga pada peradaban, tapi tunduk pada tafsir sejarah yang dijadikan lisensi untuk menindas.
Seolah Tuhan punya biro properti, lengkap dengan peta kuno dan tanda tangan di atas awan.
Mungkin Tuhan sedang menatap dari langit sambil menggeleng pelan.
Melihat manusia berkelahi rebutan kamar, tanah, dan batu, sambil berteriak: “Demi-Mu, Tuhan!”
Padahal yang diperebutkan bukan surga, tapi properti.
Bukan keimanan, tapi klaim kepemilikan.
Dan kita -penonton di layar kaca- cuma bisa menelan ironi itu sambil berpura-pura tidak tahu siapa yang sedang diserang, dan siapa yang menjerit di reruntuhan rumahnya.
Jadi, kalau suatu pagi pintu kamarmu didobrak, dan seseorang berteriak, “Keluar, ini kamar yang dijanjikan Tuhan untuk saya!”, jangan kaget. Kamu baru saja jadi bagian dari realitas paling tua di dunia: ketika sejarah dijadikan alasan untuk menindas, dan Tuhan dijadikan saksi palsu bagi keserakahan manusia.
Dan kamu akan duduk di teras rumahmu sendiri, menatap langit, lalu bertanya lirih:
“Kalau benar Tuhan yang menjanjikan... kenapa Dia tidak datang sendiri mengambilnya?”
Di langit Palestina, doa yang terusir masih menggantung di langit kelabu. (*)