Oleh: Benni Ihsan (Iben Nuriska)
DI tanah Melayu, jalan bukan sekadar hamparan aspal yang menghubungkan kota dan kampung. Ia adalah urat nadi kehidupan, tempat manusia menempuh rezeki, menegur sesama, dan menapak masa depan.
“Jalan yang baik,” kata orang tua-tua dahulu, “membawa manusia ke arah yang patut.” Maka ketika jalan-jalan kita rusak oleh beban kendaraan yang tak menanggung kewajiban, yang retak bukan hanya lapisan aspalnya, melainkan juga lapisan moral yang menopang marwah negeri.
Kebijakan mutasi plat kendaraan operasional ke kode BM yang digulirkan Gubernur Riau Abdul Wahid, sekilas tampak sebagai urusan administrasi dan fiskal.
Namun jika dipandang lebih dalam, keputusan ini menyentuh sesuatu yang lebih halus dan berakar: rasa memiliki, tanggung jawab, dan harga diri kolektif masyarakat Melayu. Sebab pada hakikatnya, kebijakan fiskal yang adil bukan sekadar perkara anggaran, melainkan juga cermin kebudayaan -- tentang bagaimana manusia menghormati bumi tempat ia berpijak.
Dalam pandangan Melayu, setiap tanah ada tuannya, dan setiap yang menumpang mesti tahu diri. Pepatah lama mengingatkan, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Prinsip ini bukan sekadar etika sosial, melainkan tata nilai yang menegakkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Ketika ribuan kendaraan perusahaan beroperasi di jalan-jalan Riau tetapi berplat dari luar daerah, itu seperti seseorang yang tinggal di rumah orang lain tanpa menyumbang untuk memperbaiki atap bocor.
Mereka memanfaatkan fasilitas publik -- jalan, jembatan, infrastruktur -- namun pajaknya mengalir ke provinsi lain. Dalam logika budaya, ini bukan hanya ketimpangan ekonomi, tetapi juga pelanggaran adab terhadap “tuan rumah”.
Plat BM, karena itu, bukan sekadar nomor polisi. Ia adalah penanda identitas dan pengakuan: bahwa kendaraan itu hidup dan memperoleh manfaat dari tanah Riau. Dengan menempatkan pajaknya di sini, ia turut menjaga rumah bersama. Pajak, dalam makna kulturalnya, adalah bentuk “junjung langit” kepada negeri.
Jejak Kolonial dalam Jalan yang Retak
Riau adalah wilayah yang kaya, tetapi telah lama menjadi korban dari pola ekonomi kolonial: hasil bumi diangkut keluar, sedangkan beban lingkungan dan infrastruktur ditinggalkan di belakang.
Dulu rempah, kemudian minyak, lalu sawit -- semua mengikuti pola yang sama. Kini, kendaraan-kendaraan berat milik korporasi modern melanjutkan cerita lama dengan wajah baru.
Ketimpangan itu bukan sekadar data fiskal, tetapi warisan sejarah yang belum tuntas. Ketika pemerintah Riau menegaskan agar kendaraan operasional perusahaan memutasi platnya ke BM, sesungguhnya yang sedang dilakukan adalah dekolonisasi ekonomi dalam skala daerah, yakni mengembalikan hak dan martabat kepada tanah yang selama ini menjadi sumber daya tanpa penghargaan yang sepadan.
Ungkapan lama mengingatkan, “jangan biar tanah sendiri menjadi saksi kesabaran yang terlalu panjang.” Kebijakan ini adalah cara beradab untuk menagih tanggung jawab yang tertunda.
Pemimpin dan Marwah Negeri dalam Adat dan Keadilan
Bagi masyarakat Melayu, adil bukan berarti membagi sama banyak, melainkan membagi sama patut. Keadilan adalah harmoni: keseimbangan antara hak dan tanggung jawab, antara manfaat dan akibat. Karena itu, mutasi plat kendaraan dapat dibaca sebagai upaya memulihkan keseimbangan yang telah lama timpang.
Namun penegakan keadilan dalam budaya Melayu, seperti yang ditunjukkan Gubernur Abdul Wahid, tak berdiri di atas kemarahan. Ia berdiri di atas budi.
Pemerintah ingin menegakkan aturan dengan bahasa yang santun, tanpa kehilangan ketegasan. Dengan begitu, kebijakan ini tidak dirasakan sebagai paksaan, melainkan sebagai panggilan moral bersama: bahwa siapa pun yang hidup dari hasil bumi Riau, patut ikut menjaga keberlanjutan infrastrukturnya.
Dalam khazanah kepemimpinan Melayu, marwah adalah mahkota yang tak boleh digadaikan, bahkan untuk keuntungan besar sekalipun. Keputusan Gubernur Abdul Wahid menegakkan kebijakan mutasi plat kendaraan adalah perwujudan dari keberanian moral itu.
Ia menegakkan prinsip yang benar, meski tidak selalu populer. Dalam pandangan Melayu, “adat berdiri di atas kebenaran, bukan di atas kesukaan.” Maka, ketika kebenaran ditegakkan dengan niat baik dan cara beradab, ia akan menumbuhkan kehormatan.
Kepemimpinan yang berani menegakkan keadilan fiskal bukanlah sekadar soal pendapatan daerah, tetapi soal kehormatan negeri. Sebab tidak ada martabat yang bisa tumbuh di atas ketimpangan.
Dari Fiskal ke Filosofis
Pada akhirnya, pajak bukan sekadar angka dalam tabel pendapatan. Ia adalah wujud penghormatan terhadap rumah besar yang kita diami bersama. Ketika kendaraan berplat BM melintas di jalan Riau, itu bukan semata tanda kepemilikan administratif, melainkan pengakuan budaya: bahwa negeri ini dihormati oleh mereka yang hidup darinya.
Keadilan fiskal yang berpijak pada kesadaran budaya akan jauh lebih kokoh daripada kebijakan yang hanya berdiri di atas sanksi hukum.
Sebab hukum bisa dilanggar, tetapi rasa malu kepada negeri sendiri, itulah yang menjaga moral masyarakat. Di situlah letak kekuatan orang Melayu: sabarnya dalam menunggu, santunnya dalam menegur, tapi teguhnya dalam menjaga marwah.
Mutasi plat ke BM, dalam pandangan budaya, bukan sekadar kebijakan fiskal, melainkan langkah menegakkan harga diri negeri. Riau sedang mengajarkan bahwa keberanian menagih keadilan, bila dilakukan dengan adab dan nalar, bukan bentuk perlawanan, melainkan cinta kepada tanah sendiri.
Dan ketika jalan-jalan itu kelak kembali rata, kita akan tahu: keadilan memang bisa lahir dari sebuah kebijakan kecil -- asal ia berpijak di tanah yang benar, dan berakar pada marwah yang tak tergoyahkan. (*)