Oleh: Irvan Nasir
SEORANG wartawan baru saja mengalami nasib apes. Bukannya pulang dengan berita segar, ia justru pulang dengan surat pencabutan izin liputan. Gara-gara apa? Gara-gara bertanya soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo yang baru saja pulang dari lawatan luar negeri.
Sekilas, ini terdengar sepele. Hanya sebuah pertanyaan. Tapi nyatanya, pertanyaan itu dianggap terlalu “bergizi” untuk disajikan di meja Istana. Akibatnya, sang penanya diusir dari dapur informasi.
Kita jadi teringat pepatah orang Melayu: lidah tak bertulang, tapi bisa mematahkan. Di negeri ini, rupanya bukan cuma jawaban yang bisa bikin runyam, pertanyaan pun bisa membuat izin liputan tercabut.
Antara Ubi Rebus dan Nasi Kotak
Program MBG sejatinya dibuat untuk rakyat kecil. Anak-anak sekolah di pelosok, yang pagi-paginya sering hanya berbekal ubi rebus atau segelas teh manis. Harapannya, mereka bisa kenyang dengan makanan bergizi agar lebih cerdas dan sehat.
Tapi ketika wartawan bertanya tentang program ini, jawabannya tidak muncul. Yang muncul justru sanksi. Ironi ini terasa pahit seperti makan nasi tanpa garam.
Bagi orang kampung, pertanyaan itu sederhana: apa betul program ini berjalan dengan baik, atau hanya sekadar janji yang enak di telinga? Karena faktanya ribuan anak bergelimpangan keracunan MBG. Ini bukan soal main-main harus ditanya langsung ke Presiden, yang empunya program
Jangan sampai MBG diplesetkan menjadi Makanan Berbahaya Gratis!
Ini serius ferguso! Rakyat harus tahu.....
Sayangnya, publik tak sempat kenyang dengan jawaban. Mereka malah disuguhi tontonan seorang wartawan yang dipaksa minggir, seolah-olah pertanyaannya penyakit menular.
Demokrasi di Meja Makan
Kita sering mendengar slogan bahwa pers adalah pilar demokrasi. Bahwa wartawan adalah jembatan suara rakyat. Tapi ketika pertanyaan kritis justru dihukum, publik mulai bertanya: demokrasi kita ini disajikan dengan lauk apa?
Apakah wartawan hanya boleh bertanya soal hal-hal manis—seperti prestasi, kunjungan luar negeri, atau acara seremonial? Lalu pertanyaan yang pedas, yang menyentuh perut rakyat, mesti dilarang? Kalau begitu, demokrasi hanya tinggal hiasan di meja makan kekuasaan.
Padahal, kata orang tua-tua kita: bertanya itu tanda tak tahu, menjawab itu tanda tahu. Kalau pemimpin enggan menjawab, jangan-jangan yang sebenarnya terjadi adalah: tak ada yang tahu pasti bagaimana nasib program itu di lapangan.
Antara Jawaban dan Prasangka
Kekuasaan kadang lupa, bahwa menjawab dengan jujur jauh lebih aman ketimbang menutup pintu. Kata-kata bisa dikelola, tapi prasangka publik tak bisa dikontrol.
Dengan dicabutnya izin liputan, publik justru semakin curiga. Ada apa di balik program MBG? Kenapa pertanyaan sederhana bisa membuat Istana kalap?
Orang Melayu sering bilang, kalau takut dilanda ombak, jangan berumah di tepi pantai. Kalau takut ditanya, jangan pula berjanji muluk di depan rakyat.
Pertanyaan yang Tak Bisa Dimatikan
Pada akhirnya, pertanyaan itu tak bisa dimatikan. Ia tetap hidup, beredar dari mulut ke mulut, dari warung kopi ke media sosial. Publik akan terus mencari jawaban, entah dari pemerintah, entah dari kenyataan sehari-hari.
Sang wartawan boleh dicabut izinnya, tapi pertanyaannya sudah terlanjur bergaung. Dan justru di situlah letak ironi terbesar: yang dianggap mengganggu, malah menjadi pusat perhatian.
Seperti sepiring lauk sederhana di meja kampung: tak bergelimang bumbu, tapi justru itulah yang paling bikin orang rindu.
Karena dalam demokrasi, yang bergizi bukan sekadar makanannya, melainkan pertanyaannya. (*)