Merdeka di Atas Warisan Sekolah Kolonial

Merdeka di Atas Warisan Sekolah Kolonial
Irvan Nasir

Oleh: Irvan Nasir

LEBIH dari 70 tahun merdeka, kita masih sering mengira sistem pendidikan kita telah sepenuhnya bebas dari cengkeraman masa lalu. Bahasa pengantar sudah bukan Belanda, kurikulum sudah nasional, dan guru-guru kita orang Indonesia. Namun, bila ditelisik lebih dalam, cara kita mendidik, menilai, bahkan memandang pengetahuan masih berdiri di atas fondasi yang diletakkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Sekolah yang dulu dibangun Belanda bukanlah ruang pembebasan, melainkan alat penertiban. Ia dirancang untuk melahirkan pegawai rendah, juru tulis, dan guru desa yang taat pada kekuasaan kolonial. Tujuannya sederhana: menciptakan kaum bumi putra terdidik yang patuh, bukan kritis; yang mampu menjalankan perintah, bukan mempertanyakan struktur kekuasaan. 

Kini, bentuknya memang berubah; papan tulis diganti layar LCD, seragam diseragamkan, dan ujian diubah menjadi asesmen, namun roh lama itu masih bernafas di dalam sistem pendidikan kita.

Sekolah Sebagai Cermin Hierarki

Dalam pendidikan kolonial, anak bangsawan pribumi disekolahkan di Hollandsch-Inlandsche School, sementara rakyat jelata cukup puas di Sekolah Desa tiga tahun. Struktur sosial itu menjamin bahwa hanya segelintir orang yang bisa naik tangga sosial.

Kini, kita menyebutnya dengan istilah yang lebih manis: sekolah “unggulan”, “favorit”, atau “internasional”. Bedanya, garis pemisahnya bukan lagi warna kulit, tapi kemampuan ekonomi. Si kaya mendapatkan lingkungan belajar yang menumbuhkan kepercayaan diri dan akses global; si miskin cukup berjuang dengan fasilitas minim dan guru bergaji pas-pasan. Dalam diam, struktur sosial kolonial itu hidup kembali dalam wajah pendidikan modern. Kita mungkin sudah merdeka secara politik, tapi belum merdeka secara struktural.

Kurikulum yang Terlalu Rasional, Kurang Manusiawi

Warisan berikutnya adalah cara berpikir yang terlalu teknokratis. Belanda memperkenalkan sistem pendidikan yang rasional dan sistematis, tapi steril dari kebijaksanaan lokal. Pengetahuan diukur dengan angka, disiplin diukur dengan waktu, dan prestasi diukur dengan nilai ujian.

Kita mewarisi paradigma itu nyaris tanpa perlawanan. Kurikulum kita berputar di sekitar administrasi, target, dan indikator. Siswa diajari untuk menjawab soal, bukan memahami kehidupan. Sekolah menjadi tempat berlomba, bukan tempat berproses menjadi manusia. Tak heran banyak anak tumbuh cerdas tapi rapuh, cakap berpikir tapi miskin empati. Mereka tahu banyak hal, tapi tidak mengerti untuk apa pengetahuan itu digunakan.

Mentalitas Kepatuhan, Bukan Pembebasan

Dalam tradisi sekolah kolonial, murid ideal adalah murid yang diam, patuh, dan tidak banyak bertanya. Guru adalah sumber kebenaran tunggal. Ruang kelas menjadi miniatur kekuasaan, tempat disiplin dipertahankan melalui ketakutan, bukan kesadaran.

Bayang-bayang itu masih nyata. Banyak siswa masih takut berpendapat. Banyak guru masih merasa mengajar berarti “menguasai”. Banyak sekolah masih menilai kesopanan dari seberapa diam murid di kelas. Kita jarang mendidik anak untuk berpikir kritis, apalagi menentang ketidakadilan. Padahal di sanalah inti pendidikan merdeka, keberanian untuk bertanya, menimbang, dan menolak ketimpangan.

Pengetahuan yang Tak Berakar

Salah satu efek paling dalam dari kolonialisme adalah kolonisasi pikiran. Dalam sistem lama, pengetahuan Barat dianggap satu-satunya yang ilmiah. Ilmu lokal, tradisi lisan, dan kearifan adat dianggap tidak rasional.

Kini, kita masih terjebak dalam bias yang sama. Jurnal internasional dianggap lebih berharga daripada penelitian lapangan di kampung sendiri. Bahasa Inggris menjadi simbol kemajuan, sementara bahasa daerah dianggap kuno. Kita memuja teori impor, tapi mengabaikan hikmah yang hidup di tengah masyarakat. Padahal bangsa yang besar bukanlah yang meniru luar negeri, tapi yang mampu mendialogkan dunia dengan akarnya sendiri.

Tujuan Pendidikan yang Melenceng

Pendidikan kolonial mencetak individu yang berguna bagi sistem, bukan warga negara yang sadar akan bangsanya. Ironisnya, semangat itu masih terasa dalam obsesi kita terhadap “karier” dan “kesuksesan pribadi”. Sekolah mendorong anak untuk mengejar pekerjaan, bukan pengabdian. Ukuran keberhasilan berubah dari “apa yang kau berikan” menjadi “berapa gajimu”. Di sinilah kolonialisme menemukan bentuk barunya: kolonialisme ekonomi dan mentalitas individualistik.

Dekolonisasi Pendidikan: Kembali Menjadi Diri Sendiri

Merdeka belajar, dalam makna sejati, bukan sekadar metode baru atau kurikulum fleksibel. Ia adalah gerakan dekolonisasi pikiran. Gerakan untuk mengembalikan pendidikan kepada hakikatnya: menumbuhkan manusia yang utuh—berakal, berperasaan, dan berakar pada budaya bangsanya sendiri.

Kita perlu sekolah yang mengajarkan keberanian berpikir, bukan hanya kecerdasan menghafal; sekolah yang melatih empati, bukan hanya kompetisi; sekolah yang menghormati kearifan lokal, bukan menirunya dari luar negeri.

Ki Hadjar Dewantara telah mengingatkan:

“Pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”

Selama pendidikan kita masih meniru struktur kolonial, cita-cita itu hanya akan tinggal semboyan. Tugas bangsa merdeka hari ini bukan sekadar memperbaiki kurikulum, tetapi membebaskan cara kita berpikir tentang pendidikan itu sendiri. (*)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index