Ketika Nilai Pesantren Menjadi Nafas Kepemimpinan Gubernur Santri

Ketika Nilai Pesantren Menjadi Nafas Kepemimpinan Gubernur Santri
Benni Ihsan

Oleh: Benni Ihsan

DI tengah embun yang belum sepenuhnya sirna dari dedaunan dan rerumputan di Lapangan Limuno, Kuantan Singingi, gema takbir dan salawat berpadu dengan pekik semangat ribuan santri. 

Namun dari semua suara yang memenuhi udara pagi itu, ada satu yang mengalun paling jernih, suara keyakinan seorang pemimpin yang tahu dari mana ia datang, dan untuk apa ia diutus menjadi pemimpin.

Pidato Gubernur Riau pada peringatan Hari Santri Nasional 2025 adalah penegasan bahwa nilai-nilai pesantren bukanlah warisan masa lalu, melainkan sumber tenaga moral bagi masa depan. 

Di hadapan para ulama, santri, dan para pejabat, Wahid tidak berbicara sebagai gubernur yang berjarak, tetapi sebagai seseorang yang membawa aroma tanah kampung, getir kehidupan, dan sinar harapan dari bilik pesantren yang sederhana.

“Jika hari ini ada yang bertanya siapa saya,” katanya dengan suara bergetar, “izinkan saya menjawab dengan tegas: saya adalah pemimpin yang dibentuk dan ditempa oleh pesantren.”

Di kalimat itulah seluruh napas kepemimpinan Wahid menemukan bentuknya. Ia tidak berbicara tentang kekuasaan, melainkan tentang asal-usul nilai, tentang bagaimana sebuah kehidupan yang ditempa oleh kesabaran, keikhlasan, dan kerja keras mampu melahirkan daya juang yang tak dapat dibeli oleh jabatan.

Wahid tumbuh dalam medan kehidupan yang keras di Sei Simbar, Indragiri Hilir. Di sana, laut dan lumpur berpadu, hidup ditakar dari keringat dan waktu. Ia kehilangan ayah di usia sepuluh tahun dan membantu ibunya mengupas kelapa demi sesuap nasi. 

Namun hidup yang keras itu justru membuka jalannya menuju tempat yang lebih dalam, sebuah pesantren. Dari sinilah lahir pandangan hidup yang menjadi dasar seluruh langkahnya, berupa: man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil; man shabara zhafira, siapa yang bersabar, dia akan menang.

Dua kalimat itu bukan sekadar kutipan dari kitab motivasi klasik. Dalam diri Wahid, keduanya berubah menjadi energi yang menuntun arah kebijakan dan sikap politiknya. 

Ia membuktikan bahwa kesungguhan dan kesabaran bukan sekadar nasihat di dinding asrama, tetapi pondasi bagi kepemimpinan publik yang berakar.

Tema Hari Santri 2025, Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia, menemukan makna konkret di tangannya gubernur santri ini. 

Bagi Wahid, kemerdekaan bukan sekadar soal sejarah yang sudah lewat, tetapi amanah yang harus terus dijaga dengan ilmu, akhlak, dan keberanian moral. 

“Mengawal kemerdekaan hari ini,” katanya, “bukan lagi menumpahkan darah, melainkan menumpahkan ilmu, kerja keras, dan akhlak.”

Di situ, nilai-nilai pesantren menemukan aktualisasinya yang paling nyata. Bagi Wahid, jihad masa kini bukanlah pertempuran fisik, melainkan perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial, menumbuhkan kemandirian ekonomi, dan menjaga moral publik di tengah derasnya arus digital. 

Dalam pandangannya, santri masa kini bukan hanya penjaga surau, tetapi penjaga peradaban, mereka harus berani memadukan kitab kuning dengan komputer, tafsir dengan teknologi, zikir dengan inovasi.

Pesan itu adalah cermin dari cara Wahid memandang Riau sebagai provinsi yang kaya sumber daya, namun hanya akan menemukan marwah sejatinya jika pembangunan berpihak pada rakyat kecil. 

Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh hanya dinikmati oleh yang kuat dan kaya, melainkan harus berakar di tanah yang menumbuhkan kehidupan bagi semua.

Kalimat itu lahir dari nurani yang sudah ditempa di pesantren: bahwa keadilan sosial adalah bentuk tertinggi dari pengabdian kepada Tuhan.

Namun barangkali yang paling menyentuh dari seluruh pidato itu adalah caranya memuliakan kesederhanaan. Ia tidak berusaha menutupi masa lalunya yang getir, justru menampilkannya sebagai sumber kekuatan. 

Di matanya, kesederhanaan bukan kelemahan, melainkan kemuliaan yang tersembunyi, yang membuat manusia tahan menghadapi badai tanpa kehilangan arah.

Di era ketika banyak pemimpin terjebak dalam pencitraan, Wahid tampil dengan kejujuran yang nyaris langka. Ia bicara tentang kemiskinan tanpa malu, tentang perjuangan tanpa pretensi. 

Dan dari situ, publik melihat sesuatu yang lebih besar dari jabatan gubernur: Wahid adalah seorang manusia yang memimpin dengan hati yang telah ditempa oleh nilai-nilai pesantren.

“Peradaban,” katanya, “bukanlah milik mereka yang memiliki teknologi, tapi milik mereka yang memiliki nilai.” Pernyataan itu, jika dibaca dengan mata batin, adalah kritik halus pada zaman yang sering mengagungkan kemajuan tanpa kebijaksanaan. 

Ia mengingatkan bahwa pesantren, yang dulu dianggap tradisional, justru sedang memegang kunci masa depan, karena di sanalah nilai dan nalar bersatu, di sanalah iman dan ilmu bersalaman.

Maka ketika Wahid mengajak pesantren di Riau untuk bertransformasi menjadi “laboratorium peradaban,” ia sesungguhnya sedang menggambar ulang arah masa depan daerah ini: masa depan yang tidak tercerabut dari akar, tapi juga tidak takut menatap langit.

Di penghujung pidatonya, Wahid menutup dengan pantun:

Dari Kuantan sampai ke hulu

Jalur berpacu di riak arus

Marwah dijaga, tuah dipeluk selalu

Negeri beradat makin terurus

Bait itu bukan sekadar penutup yang indah. Ia adalah janji kultural, bahwa kepemimpinan yang lahir dari rahim pesantren akan selalu berpijak di bumi, memeluk marwah, dan mengurus negeri dengan adab.

Dalam wajah Abdul Wahid, publik melihat sebuah kepemimpinan yang tidak tumbuh dari ruang steril, melainkan dari tanah yang basah oleh doa, sabar, dan perjuangan. Sebuah kepemimpinan yang tidak hanya berpikir tentang pembangunan fisik, tetapi juga peradaban batin.

Dan mungkin, di tengah zaman yang bising oleh kepentingan, itulah yang paling kita rindukan hari ini, seorang pemimpin yang tidak sekadar berkuasa, tapi beradab; tidak hanya memimpin, tapi menuntun; seorang gubernur santri yang telah ditempa di pesantren. (*)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index