Amlodipin, Si Murah yang Tak Pernah Pamer

Amlodipin, Si Murah yang Tak Pernah Pamer

Oleh: Irvan Nasir

ADA OBAT yang diam-diam menyelamatkan jutaan nyawa setiap hari. Tidak viral. Tidak muncul di iklan. Tidak dibungkus kata-kata keren seperti “herbal alami” atau “produk unggulan dari Swiss”. Namanya: amlodipin.

Harganya? Kadang cuma seribu per butir. Tapi daya kerjanya seharga kehidupan.

Saya sering heran. Obat semurah ini, tapi mampu menahan laju tekanan darah yang bisa saja merenggut nyawa dalam sekejap. Tidak banyak yang memuji. Tidak banyak yang tahu. Tapi di banyak rumah, di banyak dompet plastik kecil dari apotek, amlodipin hadir setiap pagi.

Kalau Anda buka kotak obat orang tua Anda, besar kemungkinan ada pil kecil berwarna putih atau biru muda itu di sana. Kadang diresepkan dokter, kadang “warisan” dari resep lama. Obat ini mungkin tidak dianggap “wah”, tapi tanpa dia, mungkin sudah banyak jantung yang menyerah duluan.

Amlodipin ini sederhana.
Diminum sekali sehari. Tak perlu dimanjakan dengan makan khusus. Tak cerewet. Tak minta perhatian.

Dia tidak bekerja dengan dramatis. Tidak bikin kepala mendadak plong seperti minum kopi. Tapi justru karena itulah dia hebat. Ia bekerja pelan-pelan, sabar, tanpa membuat pemakainya sadar bahwa hidupnya sedang diperpanjang setiap hari.

Tentu, ada saja orang yang mengeluh: “Minum amlodipin, kaki saya bengkak.” Ya, betul. Kadang memang begitu. Tapi dibanding risiko stroke, serangan jantung, atau gagal ginjal  itu harga yang sangat murah. Dokter biasanya tahu cara menyesuaikan dosisnya.

Dan lucunya, efek samping itu pun sering hilang dengan sendirinya. Seperti teman lama yang awalnya bikin sebal, tapi lama-lama justru jadi penyelamat.

Obat ini bisa dibilang “obat rakyat global”. Dari Jakarta sampai Johannesburg, dari Puskesmas di Rote sampai rumah sakit di London, resepnya sama: amlodipin 5 mg, sekali sehari.

Obat kelas dunia yang harganya tidak kelas dunia.
Mungkin satu-satunya “produk internasional” yang tak perlu diimpor mahal-mahal.

Yang menarik, semakin tua, semakin banyak orang bergantung padanya.
Dan sebagian dari mereka, mungkin tak tahu bahwa pil kecil itu sedang mencegah pembuluh darah di otak mereka pecah. Bahwa tekanan di jantungnya sedang dijaga agar tidak meledak. Bahwa umur mereka, setiap hari, sedang dicicil panjang oleh amlodipin.

Tanpa ribut. Tanpa pamer.
Amlodipin tidak seperti obat “modern” yang suka memasarkan dirinya di TV. Ia seperti ibu rumah tangga tua yang tak pernah viral tapi selalu ada di dapur — menjaga agar semuanya tetap hidup.

Saya suka menyebut amlodipin ini “obat yang membumi”. Ia tidak pilih-pilih pasien. Kaya, miskin, semua sama dosisnya. Ia tidak peduli merek, generiknya pun sama manjur.

Mungkin di situlah letak kebijaksanaan farmasi:
Bahwa untuk memperpanjang hidup, kadang kita hanya butuh sesuatu yang murah, kecil, dan setia.

Jadi kalau besok pagi Anda menelan amlodipin, jangan anggap itu hal kecil.
Mungkin di sanalah letak keajaiban kehidupan modern: bahwa pil seharga seribu rupiah bisa menjaga detak jantung agar tetap berdetak.

Tanpa promosi. Tanpa kemasan mewah. Cuma bekerja. Diam-diam. Tapi pasti.

Pun obat ini obat generik. (*)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index