Oleh: Irvan Nasir
ADA sesuatu yang bergerak pelan dalam ruang politik kita. Tidak ramai, tidak kasatmata, namun terasa mengusik. Gerakan itu datang dari segelintir kekuatan yang ingin mengoreksi arah demokrasi Indonesia dengan cara yang justru mengancam fondasinya: mendorong pemilihan pemimpin kembali dilakukan oleh DPR dan DPRD, bukan oleh rakyat secara langsung.
Dalihnya tampak rapi: biaya politik yang kian tinggi, praktik money politics yang seolah tak ada habisnya, hingga efektivitas pemerintahan yang disebut-sebut tidak sejalan dengan mekanisme pemilu langsung. Perdebatan ini mengalir di permukaan seolah-olah persoalannya adalah rakyat yang “tidak mampu” memilih dengan benar.
- Baca Juga Penegakan Hukum dan Rasa Keadilan Publik
Namun mari kita jujur: rakyat bukan sumber kerusakan itu. Rakyat hanya berada pada posisi paling lemah dalam rantai panjang politik uang yang dirancang dari atas, oleh mereka yang memiliki akses, kekayaan, dan kehendak untuk memanipulasi sistem demi kepentingan sendiri. Jika penyakitnya ada pada elite, mengapa rakyat yang harus menanggung obatnya?
Pemilu langsung bukanlah hasil eksperimen tiba-tiba. Ia adalah buah dari perjalanan panjang Reformasi yang berusaha mengembalikan hak rakyat untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Kita masih ingat betapa pemilihan tidak langsung di masa lalu membuka ruang transaksi politik di ruang tertutup, jauh dari pengawasan publik. Ketika keputusan berada di tangan sedikit orang, suara rakyat bisa menyusut menjadi formalitas belaka.
Karena itu, ketika hari ini muncul wacana mengembalikan mekanisme pemilihan kepada parlemen, kita perlu membaca tanda-tandanya dengan jernih. Apakah ini sungguh solusi, atau justru upaya menyempitkan ruang rakyat agar arena politik kembali menjadi milik segelintir orang yang sudah lama menguasainya?
Kelemahan demokrasi langsung memang harus diakui. Pemilu langsung tidak sempurna. Politik uang merajalela, partai belum sepenuhnya sehat, birokrasi sering terseret arus kepentingan.
Tetapi solusi dari ketidaksempurnaan bukanlah mengurangi porsi rakyat, melainkan menertibkan pelaku utama penyimpangan. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Pendanaan politik harus dibersihkan. Partai harus dipaksa berbenah melalui aturan yang tegas dan transparan.
Jika rumah kita bocor, tidak mungkin solusinya adalah membongkar fondasinya. Kita cukup memperbaiki bagian yang rusak. Demokrasi pun demikian.
Di daerah-daerah seperti Riau, pemilu langsung memberi ruang bagi tokoh lokal, putra daerah, dan figur-figur yang mungkin tidak memiliki akses ke elite nasional tetapi memiliki kedekatan dengan masyarakat. Jika hak rakyat dipersempit, kesempatan itu akan hilang. Politik kembali menjadi arena eksklusif yang hanya bisa dimasuki mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Semuanya harus berkiblat ke Jakarta. Sebuah langkah mundur yang mulai dirasakan daerah terkait implementasi konsep otonomi daerah yang semakin terjepit.
Kita boleh berbeda pandangan dalam banyak hal, tetapi dalam satu hal kita perlu sepakat: kedaulatan rakyat tidak boleh dinegosiasikan. Hak memilih bukan hadiah. Ia adalah hak historis yang diperjuangkan dengan harga yang tidak murah.
Oligarki boleh saja bergerak di balik layar. Narasi boleh disusun dengan rapi. Namun rakyat harus tetap menjadi penentu akhir. Bila kedaulatan ini ditarik mundur, kita sebenarnya sedang mengembalikan politik kepada zaman ketika masa depan daerah ditentukan oleh kesepakatan segelintir orang di ruang rapat tertutup.
Demokrasi bisa dibenahi. Kesalahan bisa diperbaiki. Tetapi hak rakyat untuk memilih pemimpinnya tidak boleh direnggut kembali dengan alasan apa pun, dan oleh siapa pun.
Itu batas yang harus kita jaga bersama. (*)