OTT Abdul Wahid dan Independensi KPK

Sabtu, 08 November 2025 | 00:30:00 WIB

Oleh: Omar Shariff

Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid pada awal November kembali menimbulkan pertanyaan mendasar tentang arah penegakan hukum kita. Bukan semata soal benar atau tidaknya dugaan korupsi, melainkan tentang cara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak setelah revisi Undang-Undang KPK tahun 2019, revisi yang dinilai banyak pihak telah mengubah karakter lembaga ini dari independen menjadi administratif.

Kesaksian Tenaga Ahli Gubernur, Tata Maulana yang ditahan dua hari sebelum dibebaskan tanpa status hukum menggambarkan rangkaian kejanggalan prosedural. Kejanggalan ini menunjukkan bahwa persoalan KPK hari ini bukan sekadar teknis, tetapi menyangkut prinsip akuntabilitas, proporsionalitas, dan integritas penegakan hukum.

Kronologi yang Tidak Selaras

OTT di Dinas PUPR dilakukan sekitar pukul 13.00. Pada jam yang sama, Gubernur Abdul Wahid sedang menerima tamu resmi di kantor gubernur, antara lain Bupati Siak, Kapolda Riau, dan Wakil Gubernur. Tidak ada catatan bahwa ia berinteraksi dengan pejabat PUPR yang terjaring OTT.

Namun tiga jam kemudian, sekitar pukul 17.00, KPK langsung menyergap Gubernur di sebuah kedai kopi. Telepon genggamnya disita, diminta dibuka, dan diduga datanya diambil tanpa penjelasan awal mengenai relevansi antara OTT PUPR dan Gubernur. Kecepatan lompatan dari OTT terhadap bawahannya menuju penyergapan terhadap Gubernur menimbulkan pertanyaan penting: apa dasar objektif KPK untuk menetapkan Gubernur sebagai bagian dari rangkaian peristiwa tersebut dalam hitungan jam?

Pada masa KPK sebelum revisi UU, OTT biasanya merupakan hasil rangkaian panjang pemantauan, penyadapan, dan pengumpulan bukti elektronik yang matang.

Target yang Seakan Sudah Ditentukan

Tata Maulana menuturkan bahwa sejak awal identitas dan nomor pelat kendaraan dirinya dicari oleh rombongan KPK, meski ia tidak memiliki hubungan kerja sama sekali dengan PUPR. Hal ini menimbulkan kesan bahwa operasi dilakukan berdasarkan “daftar target” yang telah dipersiapkan, bukan murni berdasarkan perkembangan bukti di lapangan.

Jika pola ini benar, ia mencederai asas penting _follow the evidence_. Penegakan hukum tidak boleh bergerak berdasarkan siapa yang dianggap dekat dengan pejabat tertentu. Ia harus bertumpu pada bukti yang berjenjang dan terverifikasi.

Mengandalkan Pengakuan Sepihak

Tata juga menyebut tidak pernah mendengar adanya rekaman sadapan, pesan digital, riwayat komunikasi, atau dokumen elektronik yang dapat menghubungkan Gubernur dengan uang Rp750 juta yang disita dari pejabat PUPR. Tuduhan bahwa uang itu untuk Gubernur hanya bersumber dari kesaksian sepihak. Bahkan klaim adanya ancaman melalui ungkapan “matahari hanya satu” tidak dilengkapi rekaman pendukung. Dalam hal ini terlihat KPK beropini. Sesuatu yang tabu dalam proses penegakan hukum.

Standar ini berbeda dengan pola KPK sebelum revisi UU, ketika bukti elektronik dan rekaman penyadapan selalu menjadi tumpuan konstruksi perkara. Ketika sebuah kasus besar hanya bertumpu pada pengakuan sepihak, publik berhak mempertanyakan kualitas penyelidikan.

Keserentakan Informasi di Media

Fakta lain yang menarik perhatian adalah keserentakan pemberitaan. Hampir berbarengan dengan penindakan terhadap Gubernur, media nasional dan lokal menayangkan judul serupa terkait OTT tersebut. Keseragaman dan kecepatan publikasi menimbulkan dugaan bahwa informasi mengenai keterlibatan Gubernur telah disiapkan sebelum penyergapan dilakukan. Dan publik wajar untuk curiga, bahwa OTT ini ada yang mengorkestrasi.

Dalam penegakan hukum modern, transparansi diperlukan. Tetapi ketika kecepatan narasi mengalahkan kedalaman verifikasi, penegakan hukum berisiko bergeser dari law enforcement menjadi narrative enforcement. Hal ini merusak persepsi publik terhadap objektivitas lembaga.

Penyitaan yang Tidak Proporsional

Selain uang OTT dari PUPR, KPK juga menyita uang pribadi Gubernur yang berada di rumahnya di Jakarta. Penyatuan barang bukti dari beberapa lokasi tanpa penjelasan keterkaitan langsungnya berpotensi mengaburkan proporsionalitas penyitaan. Pada masa lalu, KPK dikenal sangat ketat membedakan barang bukti yang relevan dan yang tidak. Hal ini menimbulkan opini liar, bahwa KPK berupaya menggenapkan penyitaan di atas satu milyar rupiah agar bisa menjadi kewenangan KPK.

Pelebaran definisi barang bukti tanpa dasar kuat rawan membuat penyidikan tampak dipaksakan untuk membangun persepsi tertentu, bukan menggali fakta.

Akar Masalah: KPK yang Melemah

Kejanggalan-kejanggalan tersebut perlu dibaca dalam konteks pelemahan struktural KPK. Setelah revisi UU KPK:

- Pegawai KPK menjadi ASN yang tunduk pada birokrasi,

- Penyadapan dan penggeledahan harus melalui izin Dewan Pengawas,

- Kewenangan SP3 kembali dihidupkan,

- Deklarasi independensi KPK dihapus dari undang-undang.

Perubahan ini membuat KPK tidak lagi berdiri sebagai lembaga superbody. Kemampuan untuk bergerak cepat, senyap, dan presisi menjadi tergerus oleh mekanisme administratif dan potensi intervensi eksternal.

Menjaga Keadilan, Menjaga Kepercayaan Publik

Apakah Gubernur Abdul Wahid bersalah atau tidak, itu adalah kewenangan pengadilan. Namun kualitas proses - ketepatan prosedur, kehati-hatian, dan independensi - harus tetap menjadi perhatian utama. Tanpa itu, setiap penindakan yang dilakukan KPK akan terus dibayangi keraguan.

Kehilangan kepercayaan publik adalah risiko paling besar. Dalam negara hukum, independensi lembaga pemberantasan korupsi bukan sekadar aspek teknis, tetapi fondasi moral bagi tegaknya keadilan.

OTT Abdul Wahid menjadi pengingat bahwa pelemahan KPK bukan isu akademis. Ia kini hadir dalam praktik, memengaruhi cara lembaga ini bekerja, dan mengancam kualitas penegakan hukum kita. Indonesia membutuhkan lembaga antikorupsi yang tegak, bukan yang mudah diarahkan.

Penutup

Riau pernah menjadi saksi banyak dinamika penegakan hukum. Kita pernah kecewa, pernah juga berharap. Tetapi kali ini, rasa kecewa datang dari tempat yang lebih dalam: dari kenyataan bahwa lembaga yang paling kita banggakan justru kehilangan ketegakannya.

Ketika hukum kehilangan independensinya, maka rakyat kehilangan tempat berteduh.

Dan ketika KPK tak lagi berdiri tegak, maka kita berhak bertanya: di tangan siapa sebenarnya nasib keadilan hari ini? [OSF]

Terkini