SEBALIK.COM , PEKANBARU - Pemerhati dan pegiat sosial, hukum, politik, budaya, dan ekonomi, Rinaldi Sutan Sati, menilai bahwa pemberitaan mengenai operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau menunjukkan tanda-tanda krisis etika jurnalistik.
Menurut Rinaldi, sejak penetapan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka, pemberitaan media nasional maupun lokal seolah berlomba menampilkan sensasi. Judul-judul berita yang muncul, katanya, lebih menonjolkan unsur dramatis dan emosional dibanding keseimbangan fakta hukum.
“Media seakan tidak lagi menulis tentang proses hukum, tapi menggubah skenario moral yang menggiring opini publik bahwa pelaku sudah bersalah sebelum hakim bicara,” ujar Rinaldi, dikutip dari tulisannya di Kompasiana yang terbit Jumat (7/11/2025).
Ia menilai, fenomena ini menandai pergeseran fungsi media dari watchdog journalism (pengawas kekuasaan) menjadi showdog journalism (pengejar tontonan). Menurutnya, fakta kini kerap dijadikan vonis, dan berita berubah menjadi hiburan moral.
Rinaldi menyebut Tim Pencari Fakta telah menelaah 10 media nasional dan lokal pada periode 3–7 November 2025. Hasilnya, rata-rata skor etika jurnalistik hanya mencapai 63 dari 100.
Empat media dinilai melakukan pelanggaran serius terhadap asas praduga tak bersalah, dua media cukup berimbang, sementara sisanya hanya mengikuti arus klik cepat.
“Judul-judul seperti ‘6 Fakta Gubernur Riau Peras Bawahan’ atau ‘Kode di Balik Jatah Preman Rp7 Miliar’ adalah contoh framing yang menggiring opini publik. Kata ‘peras’ atau ‘jatah preman’ bukan lagi dugaan, melainkan vonis,” tegas Rinaldi.
Ia menilai media seharusnya menulis dengan frasa seperti “diduga memeras” atau “menurut penyidik KPK”, bukan menyajikan tuduhan sebagai kebenaran.
Rinaldi menyoroti bahwa di era digital saat ini, kecepatan publikasi dan ekonomi klik telah menggeser logika redaksi. Menurutnya, kondisi ini membuat sebagian media tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan alat produksi persepsi.
“Ketika media melewati batas etika, konsekuensinya bukan hanya moral, tapi juga yuridis,” ujar Rinaldi, merujuk pada Pasal 5 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 310–311 KUHP terkait pencemaran nama baik.
Rinaldi menilai, pemberitaan kasus OTT Riau telah menciptakan fenomena trial by media, di mana media massa berperan sebagai “pengadilan paralel”.
“Hakimnya adalah headline, jaksa penuntutnya adalah narasi, dan vonisnya adalah opini publik,” ungkapnya.
Menurutnya, ketika berita menjadi vonis dan fakta direduksi menjadi sensasi, maka demokrasi kehilangan salah satu pilar utamanya, yakni kepercayaan.
Sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap situasi ini, Rinaldi bersama Tim Pencari Fakta OTT PUPR Riau merekomendasikan tiga langkah konkret:
Pertama, audit etik tematik oleh Dewan Pers terhadap pemberitaan OTT di Riau serta berita-berita lainnya. Audit seperti ini penting untuk menilai pola pelanggaran sistemik dan memulihkan kepercayaan publik.
Kedua, penyusunan protokol bersama KPK-Media tentang batas peliputan penegakan hukum. KPK memang berhak memberi informasi, tapi media juga punya kewajiban menyampaikan dengan proporsionalitas.
Ketiga, program pendidikan literasi media-hukum bagi jurnalis dan masyarakat, agar publik memahami perbedaan antara terperiksa, tersangka, dan terdakwa, serta tidak menelan mentah-mentah narasi media.
Rinaldi juga mengusulkan konsep baru bernama due process of information, yakni gagasan bahwa setiap informasi publik tentang kasus hukum harus melalui proses etik yang setara dengan due process of law.
"Kami meyakini jika keadilan bukanlah produk sorotan kamera, melainkan hasil dari proses hukum yang panjang dan rasional. Namun jika media menyorot dengan sudut yang salah, bayangan keadilan akan tampak bengkok di mata rakyat," kata Rinaldi.
Ia juga menegaskan, Tim Pencari Fakta OTT PUPR Riau berdiri bukan untuk membela individu, melainkan untuk membela akal sehat publik. Karena ketika etika jurnalisme runtuh, lanjut Rinaldi, bukan hanya reputasi pejabat yang diduga melakukan tindak pidana rusak, melainkan juga keutuhan hukum itu sendiri.
"Dan dari Riau, kita belajar bahwa membenahi pers sama pentingnya dengan membenahi pemerintahan," tutupnya. (Maoelana)