Refleksi 80 Tahun Penegakan Hukum: Suara Rakyat Suara Tuhan

Kamis, 06 November 2025 | 10:37:19 WIB
Dialog Kebangsaan Suara Rakyat bersama Anies Baswedan.

Oleh: Dr Zulfikri Toguan SH MH MM

(Dosen Fakultas Hukum UIR)

DELAPAN puluh tahun perjalanan penegakan hukum di Indonesia menyisakan pertanyaan mendasar: apakah hukum sudah benar-benar bekerja untuk rakyat? Tema “Suara Rakyat Suara Tuhan” menjadi relevan ketika kepercayaan publik terhadap lembaga hukum terus menurun dan kasus pelanggaran etik aparat justru meningkat.

Kesenjangan antara Hukum dan Harapan Rakyat

Indonesia mengalami kemajuan regulasi, digitalisasi pengadilan, dan peningkatan literasi hukum. Namun kemajuan tersebut tidak berbanding lurus dengan kualitas penegakannya. Survei litbang Kompas 2024 mencatat 72% warga menilai penegakan hukum tidak adil, sedangkan survei LSI 2024 menunjukkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum rata-rata hanya 55%–59%.

Data ini menegaskan bahwa hukum masih dianggap tebang pilih: tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Potret Buram Pelanggaran Hukum

Beberapa temuan penting dalam lima tahun terakhir:

Transparency International (CPI 2024) menempatkan Indonesia pada skor 35/100, peringkat 115 dunia, jauh di bawah target nasional.

ICW (2020–2024) mencatat rata-rata 600–700 kasus korupsi per tahun, dengan kerugian negara mencapai Rp 10–15 triliun.

Propam Polri melaporkan lebih dari 2.000 pelanggaran etik aparat setiap tahun.

Komisi Kejaksaan menerima 500–700 pengaduan publik per tahun.

MA & Komisi Yudisial menjatuhkan 150–200 sanksi etik hakim setiap tahun.

Jika suara rakyat adalah suara Tuhan, maka data-data ini adalah “peringatan langit” bahwa ada yang sangat tidak beres dalam sistem penegakan hukum kita.

Transparansi, Integritas, dan Keadilan: Pilar yang Rapuh

Tiga prinsip dasar penegakan hukum saat ini sedang diuji:

1. Transparansi

Mengacu pada teori good governance (UNDP, 1997) dan pandangan Joseph Stiglitz mengenai hak publik untuk mengetahui, transparansi adalah perlindungan pertama dari korupsi. Namun praktik hukum di Indonesia masih penuh ruang gelap: penyidikan tertutup, diskresi tanpa pengawasan, dan putusan yang sulit diakses publik.

2. Integritas

Leo Huberts menegaskan bahwa integritas adalah “jiwa” dari governance. Namun ketika aparat malah menjadi pelaku pelanggaran etik, publik sulit percaya hukum dapat berdiri tegak.

3. Keadilan

Rawls menekankan keadilan harus melindungi mereka yang paling lemah. Tetapi dalam kenyataan, rakyat kecil justru paling sulit mendapatkan akses hukum. Sementara itu, Amartya Sen mengingatkan bahwa keadilan harus dilihat dari hasil nyata, bukan sekadar prosedur. Pada titik ini, hukum kita masih jauh dari harapan.

Mengapa Suara Rakyat Sangat Penting?

Vox Populi Vox Dei bukan sekadar semboyan moral. Ia adalah prinsip legitimasi demokrasi. Ketika rakyat melihat hukum bekerja adil, negara pun memperoleh legitimasi ilahiah. Namun bila hukum dijalankan tidak jujur, manipulatif, dan diskriminatif, rakyat kehilangan kepercayaan—dan negara kehilangan marwah.

Tantangan 80 Tahun ke Depan

1. Menumpas korupsi yang bersifat sistemik, bukan hanya menangkap pelaku kecil.

2. Reformasi integritas aparat, mulai dari rekrutmen, pendidikan etik, hingga pengawasan independen.

3. Digitalisasi penuh proses hukum, agar keputusan, penyidikan, dan sidang dapat dipantau secara transparan.

4. Keberpihakan kepada kelompok rentan, sesuai prinsip Rawls dan Sen tentang keadilan yang substansial.

Tanpa langkah-langkah ini, hukum akan terus tertinggal dari kebutuhan publik.

Penutup

Delapan puluh tahun penegakan hukum seharusnya membuat kita lebih dewasa dalam melihat kenyataan. Hukum bukan milik kekuasaan. Hukum milik rakyat. Dan suara rakyat itulah yang menjadi pantulan suara Tuhan.

Untuk itu, hukum harus dibangun dengan keterbukaan yang terang, integritas yang kokoh, dan keadilan yang berpihak pada yang lemah.

Jika tidak, kita hanya merayakan usia, bukan kemajuan. (*)

Terkini