Buku Resilience: Seperti Perdebatan Bubur Diaduk atau Tidak Diaduk, Buku Ini Sebaiknya Dinikmati Saja

Buku Resilience: Seperti Perdebatan Bubur Diaduk atau Tidak Diaduk, Buku Ini Sebaiknya Dinikmati Saja

Oleh: Alfarizi Andrianaldi

SEBALIK.COM - Malam ini (Minggu, 2/11/2025) saya menghadiri diskusi buku Resilience karya Taqiya Mafaza di Pustaka Steva. Bukan karena saya ingin tahu mengenai buku itu, tetapi saya tidak dapat menolak ajakan teman cerpenis saya, Johan Arda. Pergi ke diskusi buku Taqiya adalah pencapaian terbaru bagi diri saya karena akhirnya saya pergi ke suatu diskusi buku seorang penulis yang tidak saya ketahui. Sebenarnya untuk apa, tapi setidaknya saya melihat bagaimana sastra Indonesia bekerja saja.

Saya memang  sengaja untuk tidak mengikuti keseluruhan rangkaian diskusi dan memilih untuk duduk di kursi paling pojok sambil menggambar karena saya sudah dapat menerka, diskusi ini pasti akan dihujani kritikan penuh ego dan pembelaan-pembelaan lemah dari si penulis itu sendiri. Ya benar saja, diskusi ini sama saja dengan orang-orang yang memperdebatkan antara bubur diaduk atau bubur tidak diaduk, itu-itu saja. Ya sudahlah.

Saya terus saja menguping jalannya diskusi, hingga saya melihat bahwasanya Taqiya sepertinya belum siap menjadi seorang penulis fiksi, namun Taqiya memiliki potensi yang besar menjadi penulis esai yang baik karena Taqiya berhasil menjabarkan terkait psikologi dengan asik, seperti bagaimana ia menjabarkan bagaimana siklus berduka yang dirasakan tokoh dengan menggunakan teori Psikologi grief reactivation Elisabeth Kübler-Ross

Setelah Bunga selaku pengamat sastra memberikan kritikan pedasnya dan Johan memberikan tanggapan secara kebapak-bapakan, akhirnya moderator memberikan kesempatan Taqiya untuk berbicara. Walau ini diskusi buku pertama Taqiya, saya salut dengan Taqiya yang berani mempertanggungjawabkan karyanya di sebuah diskusi publik, walau ia seperti seorang yang sedang klarifikasi di hadapan umum.

Bagi saya, apapun itu alasannya: ini karya pertama lah, supaya melatih mentalnya lah dan antu belawu lainnya; yang jelas, buku ini perlu diperam lebih lama lagi hingga matang, sehingga jika dibaca oleh khalayak umum tidak menimbulkan kerut di dahi dan enak untuk didiskusikan.

Ya, begitulah. Hampir dua jam saya menguping diskusi ini sehingga ekor saya pedas disebabkan kelamaan duduk. Ah, sebaiknya saya di kosan saja malam ini. Dari segala misuh-misuh tadi, ada hal yang paling disyukuri dengan kehadiran Taqiya di dunia literasi yaitu bertambah pula penulis perempuan di Indonesia terutama di Kampar, Riau & ini sangat menggembirakan sebab yang sama-sama ketahui betapa mendominasinya laki-laki di sastra Indonesia. Harapan saya, semoga Taqiya tidak kapok buat menulis dan menghasilkan buku-buku berkualitas kedepannya. Saya yakin dan percaya jika bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Kita do'akan saja. (*)

Steva, 2 November 2025

Alfarizi Andrianaldi, lahir di Teluk Kuantan. Alumnus sastra Indonesia Universitas Bung Hatta. Tergabung dalam Pekanbaru Kolektif Kru (PKC).

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index