Evaluasi MBG di Riau, Soal Rasa Makanan Siswa Boleh Sampaikan Keluhan ke Pengelola

Evaluasi MBG di Riau, Soal Rasa Makanan Siswa Boleh Sampaikan Keluhan ke Pengelola
Gubri Abdul Wahid rapat evaluasi MBG bersama Deputi Bidang Pemantauan dan Pengawasan BGN di Kantor Gubernur.

SEBALIK.COM , PEKANBARU -  Pemprov Riau membentuk Satuan Tugas Percepatan Penyelenggaraan MBG yang diketuai oleh sekretaris daerah (sekda). Satgas tersebut, juga didukung seluruh sekda kabupaten/kota se-Riau.

Tim juga telah melakukan pengecekan rutin hampir setiap pekan ke sekolah-sekolah dan dapur penyedia MBG. Saat ini, cakupan MBG di Riau baru mencapai 10% dari jumlah masyarakat sasaran.

“Respons masyarakat sangat baik. Banyak orangtua merasa terbantu karena tidak perlu lagi menyiapkan bekal makan anak,” ujar Gubernur Riau, Abdul Wahid dalam rapat evaluasi MBG bersama Deputi Bidang Pemantauan dan Pengawasan Badan Gizi Nasional (BGN), Dadang Hendrayudha di Kantor Gubernur, Selasa (21/10/2025).

Namun, pelaksanaan program ini tak lepas dari tantangan. Di awal program, hanya 50% siswa yang mengonsumsi makanan bergizi. Setelah ditelusuri, sebagian besar anak mengeluh soal rasa.

“Saya minta dapur memperbaiki kualitas rasa. Anak-anak boleh menyampaikan keluhan, tapi ditulis saja dan dimasukkan ke dalam tempat makan, tidak perlu diumbar di media sosial,” kata Wahid. 

Program ini, menurut Wahid sangat membantu terutama di daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.

Masalah lain yang dihadapi, lanjut gubri, keterbatasan alat pengujian bahan pangan. Pada tahun 2025, hanya tersedia 112 unit rapid test kit (80 untuk pestisida, 32 untuk formalin).

Padahal, setiap Sentra Penyediaan Pangan Gizi (SPPG) wajib menguji minimal lima komoditas pangan segar. Hingga kini, baru 15 SPPG yang menjalani pengujian, tersebar di 12 titik di Pekanbaru dan tiga di Kampar.

Banyak bahan pangan lokal masih didatangkan dari luar provinsi, sehingga pengawasan terhadap kualitas dan keamanan pangan menjadi lebih kompleks. 

Kasus keracunan pun sempat terjadi, akibat beberapa dapur memasak makanan sejak malam hari, yang kemudian basi saat disajikan keesokan harinya.

“Prosedurnya seharusnya memasak pukul dua sampai lima subuh. Tapi pengawasan di lapangan masih lemah,” ungkap Wahid.

Deputi Dadang menyebutkan, di Pekanbaru saat ini terdapat sekitar 873 SPPG, namun sebagian besar belum memiliki dapur aktif.

“Beberapa tenaga kerja sudah digaji negara, tapi belum bekerja optimal karena belum ada dapur. Ini harus disinkronkan,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya kehadiran ahli gizi dan akuntan dalam setiap dapur. Menurutnya, ahli gizi tidak membuat menu nasional tunggal, melainkan berbasis kearifan lokal. 

“Ahli gizi dibutuhkan untuk menghitung komposisi kalori, karbohidrat, dan gizi seimbang. Sayangnya, tenaga ahli ini justru sulit dicari,” kata Dadang.

Sementara itu, pembangunan SPPG di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) di Riau tidak melalui portal nasional mitra.bgn.go.id. 

Investor lokal dapat langsung mendaftar melalui satgas kabupaten/kota. (*)

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index