Kisah Guru PPPK, Tak Bisa Jauh dari Rumah Karena Anak Berkebutuhan Khusus

Kisah Guru PPPK, Tak Bisa Jauh dari Rumah Karena Anak Berkebutuhan Khusus

SEBALIK.COM , PEKANBARU - Fajar belum merekah ketika Sastrawati (42) bersiap meninggalkan rumahnya di Ujung Batu, Rokan Hulu. 

Sementara orang-orang masih terlelap, ia sudah menggendong tas, membawa setumpuk buku, dan menyiapkan hati untuk menempuh perjalanan panjang menuju tempat tugas di SMAN 3 Rokan IV Koto.

Perjalanan itu bukan sekadar jarak. Dua jam sekali jalan, melewati jalan berbukit, licin, dan rusak. Kadang motor harus berhenti ketika hujan turun, menunggu jalan kembali bisa dilewati. Tak jarang ia pulang dalam gelap, tubuh letih, hati diliputi rindu pada anak-anak di rumah.

“Berangkat subuh, pulang kadang sudah maghrib. Rasanya badan seperti habis diperas,” tutur Sastrawati dengan mata berkaca-kaca.

Meski perjuangan di jalan begitu berat, beban terbesar justru menunggu di rumah. Dari enam anak, satu di antaranya lahir dengan kebutuhan khusus (down syndrome). Anak itu membutuhkan perhatian penuh, kasih sayang tanpa henti, dan pendampingan ekstra dalam belajar maupun kehidupan sehari-hari.

Suaminya, yang dulu menjadi imam masjid, terpaksa berhenti. Bukan karena enggan mengabdi, melainkan karena rumah tak bisa ditinggal. Harus ada yang mengalah. 

“Suami saya sekarang yang mengurus rumah. Kadang hati saya hancur melihat dia mengerjakan pekerjaan yang seharusnya saya lakukan sebagai seorang ibu," kata Sastrawati saat diwawancara Sebalik.com, Kamis (9/10/2025).

Sastrawati tak kuasa menahan tangis saat bercerita. Rasa bersalah dan kerisauan selalu menghantui. Tangis pecah saat menceritakan sang anak. Hampir setiap hari, buah hatinya menanyakan kapan sang ibu bisa pindah dan mengajar di dekat rumah. 

Pertanyaan itu membuatnya bingung harus memberi jawaban seperti apa. Ia hanya bisa menenangkan anaknya dengan mengatakan agar bersabar dan terus mendoakan.

“Bahkan ada satu anak saya yang pernah sampai enam bulan tidak mau sekolah, hanya karena ibunya jauh. Saya coba bujuk, alhamdulillah sekarang dia mau sekolah lagi. Tapi kerisauan itu masih ada," ujarnya.

Sejak 2006, Sastrawati sudah menjadi guru honorer di SMKN 1 Rokan IV Koto. Di sekolah itu, ia membina murid-murid, dan menjadi bagian penting dari dunia pendidikan di desa. 

Saat pengangkatan PPPK, ia bersyukur doa panjangnya terkabul. Namun kebahagiaan itu bercampur getir, karena ia ditempatkan jauh dari rumah.

“Sejak saya pindah, mereka kebingungan. Padahal saya tahu, di sana guru PPKn sangat dibutuhkan,” sebutnya.

Sastrawati sudah mengikuti prosedur resmi. Ia mengurus surat rekomendasi dari sekolah tempat ditugaskan, juga surat kesediaan menerima dari sekolah lama. Semua persyaratan sudah dikantongi. Namun, hingga kini, kepastian relokasi itu belum kunjung datang.

“Saya sudah berusaha sekuat tenaga. Bukan berarti tidak bersyukur. Saya sangat bersyukur sudah lulus PPPK. Tapi kondisi anak, suami, dan orangtua yang semakin tua, membuat saya risau. Saya hanya ingin bisa lebih dekat dengan mereka, sambil tetap mengajar dengan sepenuh hati,” katanya lirih.

Perjuangan Bu Sastrawati adalah potret nyata bagaimana guru tidak hanya berjuang di ruang kelas, tetapi juga di medan kehidupan. Jalan terjal, jarak panjang, anak-anak yang menunggu penuh rindu, serta tanggung jawab besar sebagai pendidik, semuanya ia jalani dengan sabar.

Air mata yang jatuh bukan tanda kelemahan, melainkan bukti cinta: cinta pada keluarga, pada murid, pada profesi yang sudah ia tekuni hampir dua dekade.

“Harapan saya sederhana, semoga relokasi segera diproses. Agar saya bisa kembali mengajar di sekolah dekat rumah. Sehingga bisa terus dekat dengan anak-anak, tanpa harus meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang ibu dan istri. Itu saja doa saya setiap hari," tutupnya. (Maoelana)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index