Peremajaan Kelapa Riau: Ubah Skema Bantuan Menjadi Investasi Kemitraan

Peremajaan Kelapa Riau: Ubah Skema Bantuan Menjadi Investasi Kemitraan
Dr Zulfikri Toguan SH MH MM

Oleh: Dr Zulfikri Toguan SH MH MM
Dosen Hukum dan Bisnis UIR


PROGRAM peremajaan kelapa seluas 43.800 hektare di Riau yang disetujui Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pertanian tampak menjanjikan.

Harapannya, produktivitas meningkat, hilirisasi berjalan, dan pendapatan petani naik. Namun, pengalaman masa lalu membuat kita harus berhati-hati.

Sejarah menunjukkan bahwa program bantuan bibit yang dikelola langsung pemerintah selalu gagal.

Bibit dibagikan, lahan ditanami, tapi tanpa pendampingan dan sistem kemitraan yang jelas, hasilnya hanya angka di atas kertas.

Tahun lalu, ratusan ribu bibit dari DLHK Riau gagal karena tidak terkelola dengan baik, bahkan banyak ditanam di kawasan hutan lindung.

Jika anggaran besar ini kembali dikelola dengan pola lama, besar kemungkinan kegagalan akan berulang.

Solusi Alternatif: Skema Investasi Kemitraan

Saya mengusulkan agar anggaran peremajaan kelapa tidak lagi dalam bentuk hibah bibit, melainkan dipinjamkan kepada perusahaan perkebunan yang sudah berpengalaman.

Perusahaan ini bertugas mengelola peremajaan dengan pola kemitraan saham atau inti–plasma bersama petani.

Skema Saham: petani menjadi pemegang saham atas kebun yang dikelola, sehingga memperoleh dividen sesuai hasil panen.

Skema Inti–Plasma: perusahaan sebagai inti mengelola teknis budidaya, sementara petani menjadi plasma yang terikat kontrak dan mendapat jaminan harga serta pasar.

Dengan pola ini, petani tidak lagi dilepas sendiri menghadapi risiko, tetapi mendapatkan kepastian produksi, pendampingan teknis, akses pasar, dan jaminan keuntungan.

Sementara itu, pemerintah tetap menjalankan peran pengawasan agar kemitraan tidak merugikan petani.


Belajar dari Keberhasilan Sawit

Model kemitraan seperti ini bukan barang baru. Industri kelapa sawit di Riau sudah membuktikan bahwa pola inti–plasma mampu meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus menjaga keberlanjutan usaha perkebunan.

Pola ini bisa diadaptasi untuk kelapa, apalagi dengan potensi hilirisasi produk turunan (minyak kelapa, sabut, arang tempurung, dan lain-lain).

Potensi kelapa Riau memang luar biasa, tetapi tanpa tata kelola yang profesional, program sebesar apa pun akan gagal.

Solusi terbaik adalah mengubah bantuan menjadi investasi kemitraan. Pemerintah cukup menyalurkan modal, sementara perusahaan berpengalaman mengelola, dan petani mendapat kepastian manfaat.

Inilah strategi konkret agar 43.800 hektare replanting kelapa tidak hanya menjadi proyek seremonial, tetapi benar-benar menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat Riau. (*)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index