Oleh: Dr Zulfikri Toguan SH MH MM
Advokat dan Dosen Hukum UIR di Pekanbaru
OPERASI Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer menjadi perhatian publik.
Kasus ini kembali menegaskan bahwa jabatan publik masih kerap dijadikan ladang rente dan sarana untuk memperkaya diri, bukan amanah untuk mengabdi.
Dari perspektif hukum, kasus ini penting dibedah agar masyarakat memahami duduk perkara, modus, serta konsekuensi hukumnya.
Penyebab dan Akar Permasalahan
Korupsi di level kementerian biasanya muncul karena:
1. Penyalahgunaan kewenangan. Jabatan digunakan sebagai alat untuk mengatur proyek dan perizinan.
2. Lemahnya pengawasan internal. Sistem audit dan kepatuhan sering bersifat formalitas.
3. Budaya suap dan gratifikasi. Dianggap hal yang lumrah dalam hubungan pejabat dan pengusaha.
4. Kebutuhan politik dan ekonomi. Pejabat memerlukan dana besar untuk mempertahankan pengaruh, sementara perusahaan membutuhkan akses cepat terhadap proyek.
Analisis Hukum
Dasar hukum yang relevan antara lain:
Pasal 5, 11, 12 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, yang melarang pejabat publik menerima hadiah atau janji terkait jabatannya.
Pasal 12B UU Tipikor mengenai gratifikasi, di mana setiap penerimaan yang berhubungan dengan jabatan harus dilaporkan.
Pasal 418–420 KUHP mengenai pemerasan oleh pejabat.
Unsur tindak pidana dalam OTT ini dapat dipenuhi apabila terbukti adanya:
1. Pejabat negara yang berwenang.
2. Pemberian uang/barang/janji dari pihak swasta.
3. Kaitan langsung dengan jabatan yang melekat pada pejabat tersebut.
Konsekuensi hukum yang dapat dijatuhkan adalah pidana penjara 4–20 tahun, denda hingga Rp1 miliar, serta perampasan aset hasil kejahatan.
Modus Kejahatan
OTT pejabat publik biasanya melibatkan modus:
Fee proyek: pengusaha pemenang tender diwajibkan menyetor persentase tertentu.
Pengaturan tender: pemenang ditentukan sejak awal, tender hanya formalitas.
Gratifikasi terselubung: dalam bentuk fasilitas perjalanan, hiburan, hingga aset properti.
Pencucian uang: hasil suap disamarkan melalui perusahaan boneka atau rekening keluarga.
Kasus ini memperlihatkan bahwa korupsi bukan sekadar persoalan individu, tetapi sistemik. Penegakan hukum represif melalui OTT perlu dibarengi dengan langkah preventif, seperti:
1. Transparansi sistem pengadaan barang/jasa berbasis digital.
2. Kewajiban laporan harta dan gratifikasi yang benar-benar diawasi.
3. Perbaikan budaya birokrasi melalui pendidikan integritas di semua level pejabat.
4. Penguatan peran publik dan media sebagai pengawas sosial.
OTT terhadap pejabat sekelas Wakil Menteri memperlihatkan bahwa korupsi masih mengakar hingga ke lingkaran elit kekuasaan.
Dari perspektif hukum, tindakan tersebut jelas memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
Namun, di balik sanksi pidana, ada pekerjaan rumah yang lebih besar: membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. (*)