Wahabi Lingkungan

Senin, 01 Desember 2025 | 07:10:25 WIB
Irvan Nasir

Oleh: Irvan Nasir

ADA satu momen kecil dalam debat publik yang kadang jauh lebih menarik daripada substansi besar yang dibicarakan. Beberapa waktu lalu, dalam sebuah dialog televisi tentang pemberian konsesi tambang untuk organisasi masyarakat, Ulil Abshar Abdalla melontarkan istilah yang langsung memantik diskusi baru. 

Di tengah perdebatan mengenai dampak ekologis tambang, ia menyebut adanya sikap “Wahabi Lingkungan” dari sebagian aktivis yang menolak skema tersebut. Istilah itu kemudian bergema, dibicarakan ulang di media sosial, dan menimbulkan rasa ingin tahu: apa maksud metafora ini?

Kita tentu paham bahwa istilah itu bukan kategori teologis. Ia muncul sebagai metafora polemis, sebuah cara untuk memberi label kepada kelompok yang dianggap terlalu puritan dalam memandang isu lingkungan. Namun, menarik untuk menelusuri mengapa sebuah diksi bernuansa ideologis tiba-tiba hadir dalam perdebatan ekologis yang seharusnya teknokratis.

Dalam konteks diskusi tersebut, “Wahabi Lingkungan” tampaknya merujuk pada kelompok atau pengamat lingkungan yang bersikap sangat absolut. Mereka menilai aktivitas tambang hanya dari perspektif kerusakan ekologis, tanpa membuka ruang kompromi, tanpa mempertimbangkan dinamika sosial-politik dan kebutuhan pendanaan bagi pembangunan publik. 

Dalam kaca mata retoris Ulil, pendekatan seperti itu dianggap terlalu kaku, terlalu hitam-putih, terlalu percaya bahwa hanya ada satu cara benar dalam melindungi alam.

Tetapi debat tentang lingkungan selalu lebih rumit daripada sekadar memilih antara “setuju” atau “menolak” tambang. Ia adalah pertemuan dua legitimasi: legitimasi moral ekologis yang dibawa aktivis lingkungan, dan legitimasi sosial-ekonomi yang dibawa para pendukung kebijakan. 

Aktivis lingkungan berbicara dalam bahasa sains: deforestasi, degradasi tanah, risiko limbah, dan ancaman bagi masyarakat sekitar tambang. Pandangan mereka dibangun dari pengalaman panjang melihat buruknya tata kelola tambang di Indonesia, dari tambang batubara di Kalimantan hingga nikel di Sulawesi.

Sementara itu, pendukung kebijakan pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan memakai bahasa yang lain: pemerataan ekonomi, kemandirian pendanaan sosial, model tata kelola baru yang dianggap lebih etis dibandingkan perusahaan swasta murni. 

Mereka tidak menolak risiko lingkungan, tetapi melihat risiko itu sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan melalui teknologi, regulasi yang lebih ketat, dan pengawasan negara.

Kedua bahasa itu sama-sama sah. Masalahnya muncul ketika salah satu pihak mengklaim monopoli atas kebaikan. Di titik itulah metafora “Wahabi Lingkungan” bekerja sebagai alat retoris. 

Ia menegaskan bahwa sebagian kritik lingkungan dianggap menggunakan pendekatan moral yang absolut, menempatkan diri sebagai satu-satunya pembawa kebenaran ekologis, dan mengharamkan aktivitas tambang tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas.

Namun perlu dicatat: metafora ini juga punya sisi rentan. Ia bisa menggeser fokus diskusi dari substansi ekologis ke persoalan gaya berpikir. Alih-alih menjawab pertanyaan penting; apakah ormas siap mengelola tambang? bagaimana memastikan kepatuhan pada AMDAL? bagaimana mencegah moral hazard? perhatian publik justru terseret pada perdebatan tentang ekstremitas aktivis. Padahal, kritik lingkungan yang berbasis data adalah bagian penting dari demokrasi.

Penggunaan metafora semacam ini juga berisiko mendelegitimasi seluruh gerakan lingkungan, seolah-olah semua aktivis adalah kaum ekstrem. Padahal tidak sedikit aktivis yang bekerja dengan pendekatan ilmiah, membuka ruang dialog, dan memahami kompleksitas antara pembangunan dan perlindungan lingkungan. Jika kritik ekologis dilemahkan dengan label, bukan ditanggapi dengan data, maka kita kehilangan kesempatan untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam secara serius.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa Indonesia menyimpan sejarah panjang luka ekologis. Sungai-sungai yang tercemar logam berat, lubang tambang yang tak direklamasi, desa yang kehilangan sumber air akibat tambang pasir, dan kebakaran lahan gambut yang membikin langit gelap berbulan-bulan. 

Aktivis lingkungan menjadi sensitif bukan tanpa alasan; mereka memikul ingatan kolektif yang dibiarkan menganga selama puluhan tahun. Dalam konteks ini, absolutisme ekologis kadang justru muncul sebagai reaksi terhadap absolutisme korporasi dan negara pada masa lalu.

Di sisi lain, aktivis juga perlu memahami bahwa transformasi tata kelola tambang tidak bisa selalu dimulai dari titik “nol tambang”. Negara ini masih sangat bergantung pada sumber daya alam untuk menyokong fiskal, membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. 

Perdebatan yang lebih sehat seharusnya berada pada pertanyaan: bagaimana meminimalkan kerusakan? bagaimana memastikan bahwa hasil tambang dinikmati publik? bagaimana membuat model pengelolaan yang transparan, akuntabel, dan tidak disusupi kepentingan rente?

Metafora “Wahabi Lingkungan”, pada akhirnya, adalah cermin dari benturan dua dunia: moralitas ekologis dan realpolitik pembangunan. Ia menyingkap kegamangan kita menghadapi masa depan: di satu sisi kita ingin menjaga alam, di sisi lain kita membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Jika metafora itu dipakai untuk membuka dialog, mungkin ia berguna. Tetapi jika dipakai untuk mematikan kritik, kita justru merugikan diri sendiri.

Indonesia membutuhkan perdebatan lingkungan yang lebih dewasa: yang tidak puritan, tetapi juga tidak permisif; yang berakar pada data, tetapi peka pada suara publik; yang melihat tambang bukan sebagai kutukan, tetapi sebagai tanggung jawab. Dan untuk itu, kita membutuhkan lebih banyak jembatan, bukan label.

Hari ini Banjir Sumatera memberikan pelajaran pahit tentang pentingnya menjaga dan mengelola lingkungan. Pray for Sumatera! (*)

Terkini