Ketika Sepeda Menaklukkan Malaya dan Nusantara

Senin, 17 November 2025 | 10:00:25 WIB
Irvan Nasir

Oleh: Irvan Nasir

Bagaimana kendaraan roda dua menjadi senjata paling efektif dalam perang besar Asia Tenggara.

Senjata Rahasia di Tengah Rimba Tropis

Dalam imajinasi kita, kemenangan perang biasanya ditentukan oleh tank baja, pesawat tempur, atau kapal perang raksasa. Bahkan pada era super modern saat perang cukup pakai drone dan joy stick ala play station. Namun di Asia Tenggara, pada akhir 1941 hingga awal 1942, justru sepeda; ya, sepeda biasa tanpa mesin yang mengubah peta sejarah hingga saat ini.

Ketika Jepang melancarkan invasi ke Malaya dari arah utara Thailand pada Desember 1941, mereka hanya membawa sekitar 60 ribu tentara, jumlah yang hanya separuh kekuatan  Inggris dan Persemakmuran. Tapi yang membedakan mereka bukan jumlah, melainkan kecepatan dan daya gerak. Pasukan Jepang tidak menunggu logistik besar atau kendaraan berat; mereka bergerak cepat, menembus hutan, menyeberangi sungai, dan mengayuh sepeda sejauh ratusan kilometer setiap hari.

Arthur Swinson dalam bukunya "Defeat in Malaya: The Fall of Singapore" menulis dengan kagum: “Sepeda adalah senjata rahasia Jepang. Ia bisa digunakan sama baiknya di jalan raya maupun di hutan.”

Dengan kendaraan ringan itu, pasukan Jepang meluncur seperti arus angin tanpa suara mesin, tanpa ketergantungan bahan bakar. Bahkan ketika Inggris menghancurkan jembatan-jembatan utama, mereka tetap melaju: sepeda diangkat ke bahu, dan sungai diseberangi. Jika jembatan darurat dibutuhkan, para prajurit zeni menjadi “tiang hidup” yang menyangga papan kayu agar rekan-rekannya bisa lewat.

Mungkin itu sebabnya dalam bahasa Melayu sepeda disebut kereta angin.

Sekolah Perang di Atas Roda

Keajaiban tak terjadi begitu saja. Jepang telah melatih pasukan bersepedanya jauh sebelumnya di Formosa (kini Taiwan). Latihannya keras dan tidak masuk akal bagi tentara Barat. Mereka dilatih mengayuh sepeda di jalan berlumpur, menanjak di medan berbatu, bahkan mengendarai sepeda tanpa ban, hanya pelek logam yang beradu dengan tanah.

Alasannya pragmatis sekaligus cerdik. Pertama, di cuaca panas Asia Tenggara, ban karet mudah meletus dan sulit diganti. Kedua, dan inilah yang paling menarik; suara roda logam di malam hari menyerupai deru tank.

Kisah-kisah lapangan menyebut, di tengah malam tropis yang lengang, suara “geretak-geretak” ratusan roda besi membuat pos-pos Inggris di pedalaman panik. Banyak serdadu asal India lari terbirit-birit, mengira Jepang datang dengan tank dan kendaraan lapis baja. Padahal yang datang hanyalah pasukan bersepeda dengan senapan di punggung dan tekad baja di dada.

Dari Pattani ke Singapura: 1.000 Kilometer di Atas Pedal

Dalam waktu kurang dari dua bulan, pasukan Jepang melaju dari Pattani (Thailand Selatan) hingga Johor di ujung selatan Malaya, sekitar 1.000 kilometer. Mereka bergerak nyaris tanpa henti. Ketika Inggris masih mengatur logistik dan menunggu perintah dari Singapura, Jepang sudah tiba di pintu gerbang kota itu.

Pada 15 Februari 1942, Singapura jatuh. Jenderal Inggris Arthur Percival menyerah tanpa syarat kepada Jenderal Yamashita. Padahal Singapura selama ini dijuluki “Gibraltar of the East”, benteng terkuat Inggris di Asia. Tapi pertahanan itu runtuh oleh pasukan yang datang bukan dengan tank, melainkan dengan sepeda.

Menyebrangi Selat, Mengayuh ke Nusantara

Dari Singapura, arus sepeda Jepang menyeberang ke seberang selat. Di pantai timur Sumatra dan beberapa kota di Jawa, laporan-laporan militer dan kesaksian warga menunjukkan pola yang sama: pasukan Jepang masuk dengan sepeda di tangan.

Di Medan, Palembang, Purwakarta dan Bandung, warga sempat mengira mereka hanyalah rombongan pekerja atau pedagang. Tapi beberapa jam kemudian, bendera matahari terbit sudah berkibar di kantor-kantor pemerintahan. Jepang bahkan menggunakan sepeda-sepeda hasil rampasan dari gudang Belanda untuk mempercepat mobilisasi.

Di banyak tempat, kemenangan datang tanpa pertempuran besar, karena kecepatan mengalahkan kesiapan.

Ironi Kolonialisme

Kisah sepeda Jepang adalah ironi sejarah kolonial Asia. Kekuatan Eropa datang dengan kapal raksasa, meriam, dan teknologi modern, namun akhirnya tumbang oleh pasukan yang berperang dengan roda dua.

Sepeda menjadi simbol dari dua hal yang tampak bertentangan: kesederhanaan dan efisiensi. Dalam tangan yang terlatih, alat sederhana itu berubah menjadi kendaraan perang paling tangguh, murah, senyap, dan selalu siap digunakan.

Lebih dari sekadar anekdot militer, kemenangan “pasukan sepeda” Jepang menyimpan pesan yang lebih dalam:

bahwa dalam perang; seperti juga dalam hidup, kemenangan sering berpihak kepada mereka yang paling mampu beradaptasi.

Inggris terlalu percaya pada kekuatan material; Jepang memahami medan, iklim, dan ketakutan lawan.

Dan di antara dentuman meriam dan raungan mesin perang, sejarah justru mencatat bunyi paling lembut: raungan roda sepeda tanpa ban yang bergema di hutan Malaya, menandai awal babak baru dalam sejarah Asia. (*)

Terkini