Mengapa PHR Ingin Kembali ke Skema Cost Recovery?

Senin, 03 November 2025 | 07:07:00 WIB
Irvan Nasir

Oleh: Irvan Nasir

_Blok Rokan, Antara Risiko Investasi dan Keadilan bagi Daerah_

BEBERAPA waktu terakhir, publik Riau kembali dihangatkan oleh perdebatan tentang pendapatan daerah dari sektor migas. Pun Gubernur Abdul Wahid harus ikut komentar. Betapa tidak? Angka yang dulu sempat mencapai Rp 3,5 triliun dari Participating Interest (PI) 10% Blok Rokan, kini disebut-sebut menurun tajam; bahkan muncul klaim satir bahwa Riau “hanya menerima satu dolar per bulan”. Isu ini menimbulkan tanya: ada apa sebenarnya yang terjadi dengan PHR dan Blok Rokan?

Di tengah riuh wacana tersebut, terselip satu isu penting yang tak kalah strategis: keinginan Pertamina Hulu Rokan (PHR) untuk kembali menggunakan skema kontrak Cost Recovery, menggantikan sistem Gross Split yang kini berlaku. Bagi sebagian orang, ini tampak seperti langkah mundur. Tapi bagi mereka yang memahami dunia migas, persoalannya jauh lebih kompleks.

Dua Skema, Dua Filosofi

Sistem Production Sharing Contract (PSC) di Indonesia punya dua rezim besar: Cost Recovery dan Gross Split.

Dalam Cost Recovery, negara dan kontraktor berbagi hasil setelah dikurangi biaya operasi yang telah disetujui SKK Migas. Artinya, kontraktor boleh “mengklaim” penggantian atas biaya yang sudah dikeluarkan untuk eksplorasi dan produksi.
Sebaliknya, dalam Gross Split, tidak ada lagi penggantian biaya. Semua risiko dan investasi ditanggung kontraktor di depan. Negara langsung menerima bagiannya dari pendapatan kotor (gross revenue).

Secara teori, Gross Split lebih efisien, transparan, dan minim birokrasi. Tapi dalam praktik, skema ini tidak selalu cocok untuk semua lapangan; terutama untuk lapangan tua dan sudah _mature_ seperti Rokan, yang produksinya terus menurun secara alamiah (natural decline).

Blok Rokan: Lapangan Tua dengan Risiko Tinggi

Blok Rokan bukan ladang minyak baru yang kaya sumber daya belum tersentuh. Ini adalah lapangan tua yang telah diproduksi lebih dari 70 tahun. Untuk menjaga produksinya agar tidak anjlok, PHR harus membor ribuan sumur baru dan menerapkan teknologi mahal seperti Enhanced Oil Recovery (EOR) berbasis surfaktan dan polimer.

Masalahnya, di bawah skema Gross Split, semua biaya besar itu menjadi risiko murni PHR. Tidak ada jaminan pengembalian jika harga minyak turun, atau jika sumur yang dibor gagal berproduksi sesuai target.
Akibatnya, cash flow PHR menjadi ketat. Mereka harus menyediakan dana triliunan rupiah untuk operasi dan investasi, sementara margin keuntungannya kecil dan penuh ketidakpastian.

Itulah sebabnya, di kalangan internal industri, muncul pandangan realistis: untuk lapangan “mature field” seperti Rokan, Gross Split terlalu kaku dan berisiko tinggi.

Dampaknya ke Daerah

Bagi daerah seperti Riau, skema ini berdampak tidak langsung namun signifikan.

Dana Bagi Hasil (DBH) secara formula tidak berubah karena dihitung dari volume lifting dan harga minyak. Tetapi jika investasi menurun akibat beban Gross Split, maka produksi ikut turun dan otomatis DBH ikut menurun.

Participating Interest (PI) 10%, yang menjadi kebanggaan daerah, juga terdampak. PI dihitung dari keuntungan bersih perusahaan. Jika profit PHR menyusut akibat tingginya biaya operasi yang tak bisa direcover, maka nilai PI yang diterima daerah juga menyusut drastis.

Aktivitas ekonomi daerah pun melambat. Di era Cost Recovery, banyak kontraktor lokal terlibat dalam proyek-proyek migas karena investasi besar dan terus mengalir. Kini, karena PHR menekan biaya dan melakukan kebijakan efisiensi yang ketat, akibatnya perputaran uang di daerah menurun tajam.

Maka tak heran bila muncul suara dari berbagai kalangan di Riau yang mempertanyakan, “Mengapa setelah dikelola anak negeri, daerah malah dapat lebih sedikit?”

Mengapa PHR Ingin Kembali ke Cost Recovery?

Ada tiga alasan logis di balik keinginan PHR untuk kembali ke skema lama:

1. Kepastian Cash Flow
Cost Recovery memberi ruang bagi kontraktor untuk mengganti biaya operasi yang disetujui SKK Migas. Ini penting agar arus kas perusahaan stabil, terutama untuk proyek jangka panjang seperti EOR yang membutuhkan biaya super jumbo.

2. Karakter Lapangan yang Tua
Untuk lapangan seperti Rokan yang memerlukan biaya tinggi dan risiko besar, Cost Recovery dianggap lebih “adil” dan sesuai. Gross Split cocok untuk lapangan baru dan risiko rendah.

3. Dorongan Daerah dan Efek Multiplier
Dengan Cost Recovery, investasi di lapangan akan meningkat. Ini berarti lebih banyak pekerjaan, lebih banyak kontrak lokal, dan lebih besar potensi pajak serta DBH bagi daerah.

Pelajaran untuk Publik

Perdebatan ini sebenarnya membuka mata kita bahwa isu migas bukan hanya soal kontrak, tetapi tentang keseimbangan risiko dan manfaat. Negara memang berhak atas bagi hasil besar, tetapi jika perusahaan terlalu terbebani, investasi turun, produksi merosot, dan pada akhirnya penerimaan negara maupun daerah ikut anjlok.

Bagi Riau, hal ini menjadi pelajaran penting. Kita tak bisa menilai keadilan hanya dari besar kecilnya angka yang diterima hari ini, tapi juga dari keberlanjutan investasi yang menjamin masa depan produksi migas.

Penutup

Keinginan PHR untuk kembali ke Cost Recovery bukan tanda kemunduran, melainkan refleksi atas realitas lapangan. Blok Rokan bukan lagi simbol kemegahan masa lalu, tapi cermin dilema migas nasional hari ini: antara idealisme efisiensi dan realitas ekonomi energi.

Bagi daerah, kuncinya bukan pada memilih skema mana yang “lebih untung”, melainkan memastikan setiap kebijakan energi memberi manfaat nyata bagi masyarakat, baik lewat lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, maupun keberlanjutan fiskal daerah.

Karena pada akhirnya, migas bukan hanya tentang minyak di perut bumi, tetapi tentang keadilan dan kemakmuran yang seharusnya mengalir sampai ke rumah-rumah rakyat Riau. (*)

Terkini