Istilah Gubernur Non-Aktif Tidak Diakui Hukum, Abdul Wahid Masih Gubernur Riau Definitif

Istilah Gubernur Non-Aktif Tidak Diakui Hukum, Abdul Wahid Masih Gubernur Riau Definitif
Rinaldi Sutan Sati

SEBALIK.COM , PEKANBARU — Pemerhati dan pegiat sosial, hukum, politik, budaya, dan ekonomi, Rinaldi Sutan Sati, menyoroti penggunaan istilah “Gubernur Riau non-aktif” yang ramai digunakan media usai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Gubernur Riau Abdul Wahid pada 4 November 2025.

Menurutnya, istilah tersebut tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, dan penggunaannya justru berpotensi menimbulkan kekacauan tata pemerintahan.

Bahasa Media Melampaui Batas Hukum

Rinaldi menilai, seluruh media dan pejabat publik seolah sepakat memakai istilah “non-aktif” hingga istilah itu cepat melekat di telinga publik, seakan sudah sah secara hukum.

“Padahal, kalau kita buka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, istilah ‘non-aktif’ tidak pernah disebut, bahkan tidak diakui,” kata Rinaldi dalam tulisannya di Kompasiana, Ahad (9/11/2025).

Ia menjelaskan bahwa hanya ada tiga status hukum jabatan kepala daerah, yaitu aktif, diberhentikan sementara, dan diberhentikan tetap. Tidak ada istilah “non-aktif” di antaranya.

Kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan tidak otomatis kehilangan jabatannya, tetapi hanya berhalangan sementara sesuai Pasal 65 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014. Dalam kondisi ini, Wakil Gubernur diberi mandat melaksanakan tugas harian berdasarkan Pasal 66 ayat (1) huruf c.

“Selama belum ada Keputusan Presiden tentang pemberhentian sementara, sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (2), Abdul Wahid masih Gubernur definitif secara hukum. Ia tidak ‘non-aktif’, melainkan hanya ‘berhalangan sementara’,” ujar Rinaldi.

Istilah Administratif yang Menyimpang dari Norma Hukum

Lebih lanjut, Rinaldi menyebut istilah “non-aktif” berasal dari kebiasaan administratif di lingkungan militer dan kepolisian, yang kemudian menular ke ranah sipil.

“Padahal konteks hukumnya berbeda. Dalam pemerintahan daerah, istilah itu tidak punya dasar hukum,” jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa penggunaan istilah “non-aktif” bisa menimbulkan efek domino di birokrasi. Publik dan aparatur pemerintahan bisa salah menganggap kekuasaan telah beralih sepenuhnya ke wakil kepala daerah, padahal secara hukum belum.

Rinaldi mencontohkan, setelah terbitnya surat Mendagri Nomor 100.2.1.3/8861/SJ pada 5 November 2025, muncul pemberitaan bahwa Plh Gubernur Riau melakukan mutasi terhadap sepuluh kepala OPD.

“Jika benar, itu melampaui kewenangan Plh dan tergolong ultra vires atau tindakan di luar kewenangan hukum,” katanya.

Ia mengingatkan bahwa kewenangan Plh dibatasi oleh Surat Edaran Mendagri Nomor 821/5492/SJ Tahun 2020, yang melarang mutasi pegawai, perubahan struktur organisasi, dan penetapan kebijakan strategis tanpa izin tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Surat Mendagri Bukan Pemberhentian, Melainkan Penugasan

Rinaldi menjelaskan, surat Mendagri yang dikeluarkan 5 November 2025 bukan surat pemberhentian, melainkan penugasan administratif agar Wakil Gubernur menjalankan tugas harian selama Gubernur berhalangan.

“Surat itu mengaktifkan Pasal 65 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (1) huruf c, bukan Pasal 83. Jadi, tidak ada peralihan kekuasaan, hanya penugasan agar pemerintahan tidak vakum,” tegasnya.

Namun, ketika media menulis “Gubernur Riau non-aktif”, publik menganggap telah terjadi perubahan status hukum. Padahal belum ada Keputusan Presiden terkait pemberhentian sementara.

“Jadi istilah ‘non-aktif’ dalam kasus Abdul Wahid hanyalah istilah sosial, bukan status hukum,” ujarnya menegaskan.

Bahasa yang Salah Bisa Mengacaukan Hukum

Menurut Rinaldi, bahasa hukum menuntut presisi. Satu istilah yang meleset bisa mengubah makna seluruh sistem hukum. Jika istilah ‘non-aktif’ dibiarkan menggantikan ‘berhalangan sementara’, maka bahasa telah menggantikan hukum.

Ia menilai media dan pejabat publik sering menggunakan istilah “non-aktif” untuk meredam opini publik, tanpa menyadari konsekuensi konstitusionalnya.

“Dalam hukum, ‘diberhentikan sementara’ berarti ada keputusan Presiden, sedangkan ‘berhalangan sementara’ hanya berarti penugasan sementara. ‘Non-aktif’ tidak punya makna hukum apa pun,” terang Rinaldi.

Kesalahan Istilah, Kesalahan Wewenang

Rinaldi menegaskan, dalam doktrin hukum administrasi, setiap kewenangan harus bersumber dari norma yang jelas, atribusi, delegasi, atau mandat.

“Status ‘non-aktif’ tidak termasuk di dalamnya. Jadi, tindakan pejabat yang mendasarkan diri pada istilah itu bisa digugat dan dibatalkan,” jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa kekeliruan serupa juga terjadi sebelumnya, seperti pada kasus Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah (2021), Lukas Enembe (Papua), dan Nurdin Basirun (Kepulauan Riau).

“Dalam semua kasus itu, media lebih cepat dari hukum. Publik mengira kepala daerah sudah non-aktif, padahal belum ada Keputusan Presiden,” ujarnya.

Ketepatan Istilah Menjaga Negara Hukum

“Dalam negara hukum, kata adalah kekuasaan. Kesalahan istilah bukan sekadar semantik, tapi soal asas legalitas. Jika kita membiarkan istilah ‘non-aktif’ hidup tanpa koreksi, kita sedang menormalisasi kekeliruan hukum," kata Rinaldi.

Menurutnya, kasus Abdul Wahid menjadi pelajaran penting nasional. Satu kata yang salah bisa membuka ruang penyalahgunaan wewenang, mengacaukan legitimasi birokrasi, dan menyesatkan publik.

Ia menutup dengan pesan tegas:

“Jabatan publik tidak berubah karena berita, melainkan karena keputusan. Abdul Wahid tetap Gubernur Riau secara hukum sampai ada Keputusan Presiden yang menyatakan sebaliknya. Maka bila kita ingin menjaga integritas pemerintahan, mulailah dari hal sederhana, gunakan istilah yang benar. Dari ketepatan kata lahir ketepatan hukum, dan dari ketepatan hukum lahir keadilan.” (Maoelana)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index