SEBALIK.COM , PEKANBARU - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau mempertanyakan alokasi anggaran hingga Rp 153 miliar untuk instansi vertikal.
Manager Advokasi Fitra Riau, Sartika Dewi mengatakan, dalam dokumen APBD 2025, anggaran tersebut di antaranya, Rumah Sakit Bhayangkara Rp 88,45 miliar, Kejaksaan Tinggi Riau Rp17,75 miliar, RS Tentara Rp 31,3 miliar, dan kantor DPD RI Riau Rp15,8 miliar.
"Sekilas, alokasi ini tampak wajar dengan dalih mendukung pelayanan publik. Namun jika ditelisik lebih dalam, keputusan ini justru menabrak logika tata kelola keuangan negara," ujar Sartika Dewi.
Ia menegaskan, semua lembaga tersebut merupakan instansi vertikal yang mestinya dibiayai melalui APBN.
Dengan kata lain, Pemprov Riau secara sadar mengambil alih kewajiban pusat, sementara banyak agenda pembangunan daerah yang lebih mendesak masih terbengkalai.
"APBD dirancang sebagai instrumen fiskal untuk membiayai urusan wajib daerah pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, hingga penanggulangan kemiskinan," tuturnya.
Tetapi lanjut Sartika Dewi, ketika ratusan miliar rupiah dialihkan untuk pembangunan gedung lembaga pusat, ini menunjukan terjadinya distorsi fungsi APBD.
Padahal, lanjutnya, masyarakat Riau masih menghadapi persoalan mendasar, kualitas pendidikan dan layanan kesehatan di kabupaten/kota yang timpang, infrastruktur pedesaan dan pesisir yang minim, serta angka kemiskinan dan ketimpangan yang belum tertangani optimal.
"Kontras ini menimbulkan pertanyaan etis, apakah APBD Riau benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat Riau, atau justru menjadi subsidi bagi negara?" tanya Sartika.
Dilain sisi, kebijakan nasional selama ini menekankan pentingnya efisiensi anggaran daerah. Regulasi pengelolaan keuangan menuntut agar hibah diberikan secara selektif dan tepat sasaran. Namun, hibah jumbo kepada instansi vertikal justru bertentangan dengan prinsip tersebut.
"Alih-alih memperkuat pelayanan dasar, Pemprov Riau memilih menguras ruang fiskalnya untuk bangunan megah lembaga pusat. Langkah ini tidak hanya melanggar prioritas fiskal, tetapi juga mempersempit peluang inovasi pembangunan daerah," lanjutnya.
Kecenderungan daerah mengalokasikan hibah untuk instansi vertikal kerap dikaitkan dengan hubungan politik antara pemerintah daerah dan lembaga pusat.
Dalam konteks Riau, besarnya dana hibah membuka ruang dugaan bahwa keputusan anggaran bukan semata pertimbangan kebutuhan masyarakat, melainkan juga kompromi dan kepentingan elite birokrasi.
Fitra Riau memandang alokasi hibah ini sebagai bentuk penyimpangan arah pembangunan daerah.
Pemprov Riau seharusnya memperjuangkan agar pembiayaan gedung lembaga vertikal ditanggung penuh oleh APBN, bukan mengambil jalan pintas dengan mengorbankan APBD.
"APBD adalah uang rakyat yang seharusnya kembali kepada rakyat dalam bentuk layanan dasar. Jika dipakai untuk instansi vertikal, maka Pemprov Riau telah menyalahi mandat konstitusional APBD," tegas Sartika Dewi.
Alokasi Rp153,3 miliar untuk pembangunan instansi vertikal di Riau menegaskan adanya distorsi arah pembangunan dan fungsi APBD. Di tengah keterbatasan fiskal dan banyaknya kebutuhan dasar masyarakat yang belum terpenuhi, keputusan ini memperlihatkan betapa lemahnya komitmen Pemprov Riau terhadap agenda pembangunan daerah.
"Jika pola ini terus berlanjut, maka APBD Riau akan semakin tersandera kepentingan pusat sementara rakyat hanya mendapat sisa dari meja perjamuan birokrasi," urainya.
Momentum pada APBD Perubahan 2025, pemerintah daerah, gubernur dan DPRD diminta segera meninjau ulang alokasi hibah kepada instansi vertikal dan mengalihkan anggaran tersebut untuk kebutuhan rakyat.
"Mengutamakan program prioritas daerah, dan mendorong Pemerintah Pusat menanggung penuh biaya pembangunan gedung instansi vertikal melalui APBN," tutupnya. (*)