SEBALIK.COM , PEKANBARU – Penemuan cadangan minyak dan gas (migas) baru sebesar 724 juta barel di Riau menuai optimisme besar.
Tak hanya menjadi kabar baik bagi negara yang tengah berupaya memperkuat APBN, penemuan ini juga diharapkan membawa berkah bagi masyarakat Riau sebagai daerah penghasil.
Pakar Ekonomi Universitas Riau, Dahlan Tampubolon, menegaskan bahwa penemuan ini ibarat suntikan dana segar bagi perekonomian nasional.
“Kalau APBN kita lagi masuk angin, cadangan migas baru ini ibarat obat. Pemerintah bisa dapat penerimaan negara lebih besar dari sektor hulu migas. Apalagi kalau harga minyak dunia sedang tinggi, makin cuan negara kita,” jelas Dahlan, Rabu (17/9/2025).
Sebagai gambaran, penerimaan negara dari sektor hulu migas pada tahun 2022 mencapai Rp140 triliun. Dengan adanya cadangan baru di Riau, angka tersebut berpotensi melonjak lebih tinggi.
“Itu tentu bisa dipakai pemerintah untuk bangun infrastruktur, biayai pendidikan, atau tambah anggaran kesehatan. Jadi, bukan cuma Pertamina yang senang, tapi negara dan Riau pun ikut senang,” tambahnya.
Namun, Dahlan mengingatkan bahwa penemuan besar ini juga membawa pertanyaan klasik, sejauh mana masyarakat Riau merasakan langsung dampaknya?
“Riau ini sudah seperti rumah bagi migas Indonesia. Penemuan ini jelas akan memicu aktivitas ekonomi jangka pendek, mulai dari penyerapan tenaga kerja, suplai barang dan jasa, sampai warung-warung makan di sekitar lokasi pengeboran yang akan ramai. Itu ladang rezeki baru bagi masyarakat lokal,” katanya.
Dalam jangka panjang, menurut Dahlan, kunci kesejahteraan Riau ada pada mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH).
“Secara aturan, sudah ada porsinya. Untuk minyak bumi, daerah penghasil dapat 15,5 persen, daerah penyangga 3 persen. Sisanya masuk ke kas negara. Tapi, di lapangan, masyarakat Riau sering merasa porsi itu tidak adil,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, dengan kontribusi migas Riau yang begitu besar, dana DBH yang diterima masih belum cukup untuk membiayai pembangunan secara masif.
“Uang itu seharusnya bisa dipakai untuk memperbaiki jalan rusak, membangun fasilitas kesehatan yang lebih layak, atau meningkatkan kualitas pendidikan. Tapi karena sebagian besar penerimaan migas ditarik ke pusat, Riau sering merasa dianaktirikan,” ujar Dahlan.
Selain soal porsi, masalah klasik lain adalah keterlambatan pencairan DBH. Menurut Dahlan, dana bagi hasil itu cairnya tergantung pusat. Kalau terlambat, perencanaan pembangunan di daerah ikut berantakan.
"Proyek infrastruktur atau program sosial bisa tertunda hanya karena dananya belum turun. Itu yang sering membuat masyarakat Riau bertanya, ‘kok duit hasil bumi kami susah cair, padahal kami yang menanggung dampak lingkungannya?'" jelasnya.
Dahlan juga menyoroti faktor transparansi dan akuntabilitas. Ia menilai, masyarakat Riau kerap tidak mengetahui persis berapa dana yang masuk dari pusat dan untuk apa saja digunakan.
“Kalau transparansi lemah, wajar kalau timbul kecurigaan. Padahal yang dibutuhkan masyarakat sederhana, mereka ingin melihat dana itu betul-betul dipakai untuk kesejahteraan,” tegasnya.
Ia menutup dengan pesan bahwa momentum penemuan cadangan migas 724 juta barel harus jadi titik balik bagi pengelolaan kekayaan alam di Riau.
“Jangan sampai pepatah lama terulang, ayam mati di lumbung padi. Penemuan ini seharusnya membuat masyarakat Riau makin sejahtera. Itu bisa tercapai kalau bagi hasil lebih adil, pencairan tepat waktu, dan transparansi dikuatkan,” tutup Dahlan. (Maoelana)