SEBALIK.COM, PEKANBARU – WALHI Riau mendesak Kementerian Kehutanan (Kemenhut) untuk mengevaluasi bahkan mencabut perizinan PT Sumatera Riang Lestari (SRL). Sejak awal keberadaannya di Provinsi Riau pada 2007, perusahaan ini telah menyebabkan berbagai persoalan, mulai dari kerusakan lingkungan hidup hingga konflik sosial. Bahkan upaya perampasan ruang hidup masyarakat masih dilakukan hingga saat ini.
Berdasarkan hasil pantauan dan analisis spasial WALHI Riau periode November 2023 s/d September 2025 di lokasi konsesi PT SRL menemukan bahwa perusahaan tersebut menjadi sumber konflik lahan dengan masyarakat di Kabupaten Bengkalis, Kepulauan Meranti, dan Indragiri Hilir. Konsesinya juga berulang kali terbakar, merusak ekosistem gambut, dan tidak menjalankan kewajiban restorasi gambut. Berbagai pelanggaran lingkungan hidup ini tentunya menambah kerentanan Pulau Rupat dan Rangsang sebagai pulau-pulau kecil. Selain itu, perusahaan ini juga diduga melakukan pelanggaran tenaga kerja hingga kekerasan terhadap perempuan dan anak, tepatnya di Blok IV Pulau Rupat.
Solikhin, salah satu warga Desa Batu Panjang, Pulau Rupat juga menegaskan dampak buruk keberadaan PT SRL di Provinsi Riau, salah satunya merampas ruang hidup masyarakat Pulau Rupat. Tanpa sepengetahuan masyarakat, lahan seluas ±1.359,40 ha yang telah dikelola masyarakat Batu Panjang sejak tahun 1990, diklaim sebagai areal kerja PT SRL. Sebelum kedatangan PT SRL, sebanyak 507 warga melalui tiga kelompok tani telah mengelola lahan tersebut dengan menanam karet, palawija, hingga kelapa sawit. Bahkan sejak awal wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan tanpa sepengetahuan warga, mulai dari SK Menteri Kehutanan Nomor: 173/Kpts-II/1986 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Riau Sebagai Kawasan Hutan hingga SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 6612 Tahun 2021 tentang Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Riau.
“PT SRL terus berupaya merampas tanah kami. Terakhir pada tahun 2023 kebun milik masyarakat Batu Panjang dirampas oleh perusahaan tersebut. Padahal kami mengelola lahan tersebut jauh sebelum keberadaan PT SRL di pulau ini. Salah satu bukti nyatanya adalah tanaman kelapa sawit yang telah ditanam masyarakat sejak tahun 2008. Jauh sebelum itu, masyarakat telah mengelola lokasi tersebut dengan tanaman palawija dan karet,” tutup Solikhin.
Rezki Andika, Staf Kajian WALHI Riau menyebut izin PT SRL sudah selayaknya diciutkan bahkan dicabut. Hasil pantauan WALHI Riau telah memperlihatkan bagaimana keberadaan perizinan perusahaan HTI tersebut memberikan dampak buruk terhadap lingkungan dan sosial. Terlebih aktivitas kebun HTI PT SRL di Blok Rupat dan Rangsang jelas bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU WP3K) jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.
“Janji jaga hutan yang disampaikan Presiden Prabowo dan pengelolaan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat harus ditunaikan. Kedua hal tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan penciutan atau mencabut izin PT SRL dan mengembalikan lahan masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial (PS) atau Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sebagai wujud perlindungan hak atas ruang hidup masyarakat,” tutup Rezki. (*)