Tradisi Ambeng, Hidangan yang Merawat Kebersamaan

Tradisi Ambeng, Hidangan yang Merawat Kebersamaan

SEBALIK.COM, MERANTI– Suasana Masjid Taqwa, Desa Segomeng, Kamis (4/9/2025) pagi terasa berbeda dari biasanya. Lantunan sholawat dari anak-anak muda yang tergabung dalam grup hadroh Al-Hidayah bergema ke seluruh penjuru desa, berpadu dengan suara merdu mereka, menyambut jamaah yang mulai berdatangan.

Sementara itu, di sudut-sudut masjid, warga tampak sibuk menata hidangan besar yang di dalamnya ada nasi dan lauk pauk di atas nampan bundar. Inilah yang disebut ambeng, tradisi masyarakat Jawa yang telah turun-temurun digelar setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Ambeng bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol kebersamaan, persaudaraan, dan rasa syukur. Nampan besar berisi nasi putih, berpadu dengan lauk pauk seperti daging ayam, ikan, telur rebus, mie goreng, bihun, hingga urap, tersusun rapi beralaskan daun pisang. Setelah sholat zuhur berjamaah, warga duduk melingkar, menikmati hidangan dengan tangan, tanpa sekat dan perbedaan.

“Ambeng ini sudah jadi tradisi dari orang-orang tua kami. Filosofinya adalah kebersamaan, kita makan satu nampan, satu rasa, tanpa membedakan satu sama lain,” kata Ridho, tokoh pemuda setempat.

Kemeriahan Maulid Nabi terasa sejak pagi hari. Asap dapur mengepul dari hampir setiap sudut rumah di Desa Segomeng, pertanda warganya tengah sibuk memasak dan menyiapkan ambeng untuk dibawa ke masjid. Ada juga yang membungkus nasi untuk dibagikan ke anak-anak. Semangat bersedekah tumbuh dengan sendirinya, karena masing-masing keluarga ingin turut serta berbagi rezeki di momen kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Ketika waktu acara tiba, ambeng dari berbagai rumah dikumpulkan di Masjid Taqwa. Mereka membawanya ke bangsal, dan memastikan hidangannya tertata rapi. Setelah sholat zuhur berjamaah, ambeng pun dibagikan dan disantap bersama.

Keceriaan juga bertambah dengan hadirnya anak-anak kecil yang mengantri rapi untuk mendapatkan nasi bungkus yang telah disiapkan. Tawa polos mereka membuat suasana semakin hangat, seolah menegaskan bahwa Maulid Nabi bukan hanya tentang peringatan sejarah, melainkan juga tentang berbagi kebahagiaan.

Tradisi ambeng ini ternyata tidak hanya hidup di Desa Segomeng. Di beberapa daerah lain di Kepulauan Meranti, masyarakat Jawa juga masih melestarikan tradisi serupa. Dari desa ke desa, ambeng menjadi jembatan sosial, mempererat hubungan warga, sekaligus menjaga warisan budaya yang menyatu dengan nilai-nilai Islam.

“Setiap Maulid Nabi, kami merasa kembali dipertemukan dalam kebersamaan. Ambeng bukan sekadar nasi, tapi pesan moral untuk hidup rukun dan saling berbagi,” kata Ridho.

Tradisi ambeng di Segomeng dan daerah-daerah lain di Meranti membuktikan bahwa kearifan lokal tetap bisa hidup berdampingan dengan ajaran agama. Di tengah modernisasi, masyarakat masih setia menjaga warisan budaya sebagai pengikat rasa syukur dan solidaritas. (M. Owen Maulana)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index