Dari Lidah Pejabat ke Amarah Rakyat

Dari Lidah Pejabat ke Amarah Rakyat

Penulis:Irvan Nasir

Ketika komunikasi publik kehilangan empati, kata-kata penguasa berubah menjadi bahan bakar kemarahan.

Dalam sejarah politik modern, salah satu fondasi utama yang membangun legitimasi sebuah pemerintahan bukan semata-mata program kerja atau keberhasilan pembangunan fisik, melainkan kualitas komunikasi antara penguasa dan rakyatnya. Komunikasi politik yang sehat mestinya menumbuhkan rasa hormat, empati, serta keterhubungan emosional antara negara dan warga. Sayangnya, yang tampak hari-hari ini di Indonesia justru sebaliknya: komunikasi pejabat publik yang sering kali kasar, merendahkan, dan jauh dari sensitivitas sosial.

Beberapa pernyataan belakangan ini menjadi contoh nyata. Ketika tagar #IndonesiaGelap muncul sebagai simbol keresahan publik, seorang menteri senior menjawab dengan kalimat pendek yang menohok: “Kau yang gelap!”. Alih-alih menenangkan, respons ini justru mempertebal jarak antara elit dan masyarakat.

Hal serupa terjadi dengan tagar #PergiAjaDulu yang lahir sebagai bentuk kritik halus. Namun yang muncul adalah reaksi pejabat yang mengolok-olok: “Pergi aja, nggak usah kembali.” Ucapan itu bukan sekadar retorika, melainkan sinyal betapa komunikasi pejabat telah kehilangan rasa welas asih terhadap rakyat yang mereka layani.

Tidak berhenti di situ. Saat masyarakat resah dengan isu kenaikan pajak, seorang menteri ekonomi berkelas dunia mengeluarkan pernyataan: “Yang tidak mau bayar pajak, tidak usah tinggal di Indonesia.” Kalimat ini menggambarkan betapa pendeknya jembatan empati antara pemerintah dan rakyat. Sementara itu, publik masih mengingat ucapan seorang politisi senior: “Emang tanah itu mbah yang buat?” yang seolah menepikan sensitivitas masyarakat kecil dalam persoalan tanah dan ruang hidup.

Rangkaian contoh ini bukan sekadar potongan pernyataan. Ia adalah cermin dari pola komunikasi pemerintah yang gagal membaca suasana kebatinan rakyat. Komunikasi yang melukai, pada akhirnya, lebih berbahaya daripada kebijakan yang keliru. Sebab luka dari kata-kata sering menimbulkan perasaan ditinggalkan, disepelekan, bahkan dimusuhi oleh penguasa.

Kita belajar dari sejarah bangsa ini: ketika komunikasi pejabat penuh empati, kritik rakyat justru bisa menjadi bahan koreksi bersama. Presiden Soekarno, misalnya, dikenal dengan gaya komunikasinya yang membakar semangat, tetapi sekaligus akrab dan membumi. Presiden Gus Dur mampu menertawakan dirinya sendiri, sembari menjaga martabat rakyat kecil. Keduanya menyadari bahwa kekuasaan tidak hanya dijalankan dengan regulasi, tetapi juga dengan tutur kata yang mengandung hormat.

Sebaliknya, ketika komunikasi publik menjadi arogan, apalagi disampaikan di ruang terbuka, ia memicu reaksi sosial yang sulit dikendalikan. Kita menyaksikan hari-hari ini gelombang unjuk rasa marak di berbagai kota, dipicu bukan semata oleh kebijakan ekonomi atau politik, tetapi juga oleh kalimat-kalimat yang dirasa menghina rakyat.

Pakar komunikasi politik Effendi Gazali pernah mengingatkan, “Bahasa pejabat adalah bahasa negara. Jika salah ucap, negara pun yang dianggap bersalah.” Sementara itu, budayawan Goenawan Mohamad menulis dalam salah satu catatannya, “Kata bisa menenangkan, tapi juga bisa menyalakan api.” Dua peringatan ini seolah menemukan relevansinya pada situasi kita hari ini.

Di era media sosial, setiap kata pejabat akan dikutip, disebarluaskan, diperdebatkan, dan dikenang. Kalimat buruk yang lahir dari lidah pejabat akan hidup jauh lebih lama daripada masa jabatan itu sendiri.

Maka, perbaikan komunikasi bukan perkara sepele. Ia adalah kebutuhan mendesak agar negara kembali menemukan jembatan empati dengan rakyatnya. Pemerintah perlu memahami bahwa komunikasi politik bukan sekadar “menjawab kritik” atau “membungkus program”, melainkan menghadirkan rasa hormat, kesediaan mendengar, dan pengakuan atas martabat rakyat.

Kita berharap para pejabat publik di republik ini belajar menata kembali tutur katanya. Bahwa dalam setiap kalimat, ada harga diri bangsa yang sedang mereka wakili. Bahwa dalam setiap jawaban, ada martabat rakyat yang tidak boleh direndahkan.

Seorang filsuf pernah mengingatkan, “Kata-kata adalah jendela atau tembok.” Bila komunikasi pemerintah menjadi jendela, rakyat akan merasa melihat harapan. Bila ia menjadi tembok, rakyat hanya akan merasa terkunci dalam kemarahan. Dan kini, yang paling dibutuhkan bukanlah tembok, melainkan jendela yang terbuka.

Ingat-ingatlah pepatah lama, "mulut kamu harimau kamu"

Pku, 1 Sept 2025
 

*] Penulis adalah praktisi komunikasi dan pemerhati kebijakan publik. Kini aktif memberikan analisis dan refleksi tentang relasi negara dan rakyat sebagai ikhtiar pembelajaran.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index