RINALDI SUTAN SATI
Owner Kedai Kapitol/Pemerhati dan Pegiat Sosial, Hukum, Politik, Budaya dan Ekonomi
Penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer yang terjadi pada tanggal 20 Agustus 2025 lalu dan Gubernur Riau (Berhalangan Sementara) Abdul Wahid 3 November 2025, membuat banyak orang, baik di media sosial maupun dalam perbincangan publik, tiba-tiba mereduksi dua peristiwa besar itu seolah satu paket yang identik. Ada yang mengatakan, "Sama saja, dua-duanya korupsi." Ada pula yang lebih ekstrem, menyimpulkan bahwa setiap pejabat yang ditangkap KPK pasti "terbukti bersalah". Di titik inilah saya melihat sebuah fenomena yang memprihatinkan: kemalasan berpikir dalam membaca hukum.
Menyamakan kasus Noel dan kasus Abdul Wahid bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya. Keliru, karena fakta-fakta yang mengitari keduanya berbeda bagaikan siang dan malam. Berbahaya, karena pola pikir seperti ini merusak fondasi presumpsi tak bersalah, mematikan nalar publik, dan membiarkan hukum berjalan tanpa standar. Sebab jika publik tidak lagi mampu membedakan OTT yang kokoh dari OTT yang diduga cacat prosedur, maka pelanggaran hukum justru akan bersembunyi di balik jargon pemberantasan korupsi.
Perbandingan tanpa nalar adalah musuh kebenaran. Ketika dua perkara dengan struktur bukti, kualitas prosedur, dan konsistensi narasi yang sangat berbeda dianggap sama hanya karena keduanya menggunakan label "OTT", maka yang keliru bukan sekadar opini, melainkan cara kerja logika itu sendiri. Pada titik ini, publik harus diingatkan bahwa hukum tidak bekerja dengan asumsi, melainkan dengan unsur. Dan unsur harus terpenuhi, bukan diciptakan sesuai selera politik atau amarah kolektif.
Kasus Noel adalah gambaran lengkap sebuah operasi penindakan yang memenuhi semua standar hukum, seperti halnya barang bukti nyata, pelapor jelas, narasi konsisten, transaksi terjadi, dan unsur-unsur delik terpenuhi. Sementara itu, OTT terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid justru menyajikan rangkaian kejanggalan. Tidak ada uang serah terima uang saat ditangkap, barang bukti yang berlainan dengan lokasi ditangkap, narasi berubah-ubah, dan tindakan administratif pemerintah daerah setelahnya yang dapat diduga melenceng dari aturan.
Mereka yang menyamakan keduanya sering kali tidak membaca detail, tidak memahami perbedaan antara permintaan dan penerimaan, dan tidak mengerti konsekuensi dari cacat prosedur dalam hukum acara pidana. Mereka terjebak dalam simplifikasi dangkal, bahwa saat "KPK menangkap, berarti salah." Padahal hukum pidana tidak bekerja berdasarkan asumsi moral, tetapi berdasarkan alat bukti, prosedur sah, dan keabsahan penetapan tersangka.
Karena itu, tulisan ini bukan sekadar rangkaian analisis, melainkan sebuah peringatan keras, bahwa penegakan hukum tidak akan pernah adil jika publik sendiri gagal membedakan operasi yang sah dari operasi yang bermasalah. Menyamakan OTT Noel dengan OTT Abdul Wahid sama saja dengan menyamakan timbunan bukti dengan ketiadaan bukti, menyamakan narasi yang konsisten dengan narasi yang berubah-ubah; menyamakan operasi hukum murni dengan operasi yang berpotensi sarat kepentingan.
Di sinilah pentingnya kritik. Di sinilah perlunya pembacaan yang jernih. Di sinilah urgensinya membedah dua kasus ini dengan perspektif hukum, bukan dengan insting politik atau fanatisme lembaga. Tulisan ini hadir untuk menegaskan itu semua. Bahwa dua peristiwa yang tampak serupa belum tentu memiliki bobot hukum yang sama. Kadang, justru perbedaan halus di balik sebuah operasi yang menentukan apakah keadilan ditegakkan atau justru diselewengkan.
OTT Noel dan Kerapian Sebuah Operasi
Hari ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer atau yang lebih akrab disebut Noel, kita mencermati respon publik seakan melihat kembali bagaimana sebuah Operasi Tangkap Tangan (OTT) ideal seharusnya dijalankan. Operasinya berjalan rapi, jernih, dan seakan tanpa celah. KPK bergerak dengan cara yang tidak menyulut perdebatan, tidak menimbulkan interpretasi liar, dan tidak membuka ruang spekulasi. Semua data, semua narasi, dan semua unsur hukum tampak terjalin secara simetris, seolah membentuk bangunan hukum yang utuh.
Dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya Pasal 1 angka 19 KUHAP, tertangkap tangan didefinisikan secara jelas sebagai seseorang yang jika ditemukan sedang melakukan tindak pidana, atau sesaat setelahnya, atau ketika padanya ditemukan barang-barang yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Cara terbaik memahami definisi tersebut adalah melihat kasus Noel. Ketika ia ditangkap, bukan hanya ada transaksi yang sedang berjalan, tetapi juga ditemukan barang bukti fisik dalam jumlah besar, seperti uang tunai, beberapa mobil dan motor, buku tabungan, catatan transaksi, sampai perangkat elektronik yang menunjukkan aliran komunikasi yang berkaitan dengan pemerasan dalam proses sertifikasi K3.
KPK, tanpa ragu, memperlihatkan semua barang sitaan itu. Seolah ingin berkata bahwa OTT ini bukan sekadar tindakan mendadak yang mengandalkan intuisi, tetapi hasil dari penyelidikan matang dengan bukti kuat. Konsistensi narasi juga sangat menonjol. Kita menonton Jubir KPK menyampaikan informasi yang sama dari awal hingga akhir. Tidak ada koreksi lokasi, tidak ada kebingungan pola, tidak ada pernyataan yang esok harinya harus diluruskan. Semua informasi yang keluar dari KPK bergerak dalam satu garis lurus.
Di sini kita melihat bagaimana Pasal 12 huruf a UU Tipikor dan Pasal 11 UU Tipikor bekerja dengan logika yang sangat sederhana. Ada pejabat, ada permintaan, ada penerimaan, ada hubungan jabatan, ada keuntungan yang diperoleh. Tidak ada satu pun unsur delik yang perlu dipaksa untuk masuk. Tidak ada penafsiran yang perlu dilengkungkan. Kasus Noel berjalan seperti rumus matematika yang paling dasar.
Menariknya, OTT Noel tidak menimbulkan kegaduhan politik. Karena ia bukan kepala daerah, tidak ada Plh., tidak ada Plt., tidak ada perebutan jabatan di pemerintahan daerah. Presiden memberhentikan sementara sesuai kewenangan, dan kementerian berjalan normal. Publik pun fokus pada kasus hukum, bukan pergulatan kekuasaan.
Dengan semua rapi dan tertata seperti itu, OTT Noel menjadi cermin yang reflektif. Ia memperlihatkan bagaimana seharusnya operasi penindakan dilakukan. Operasi yang terbuka, bersih, kuat, dan konsisten. Dan cermin inilah yang kelak memantulkan perbedaan mencolok ketika kita memperhatikan penangkapan terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid.
OTT Gubernur Riau (Berhalangan Sementara) Abdul Wahid
Jika OTT Noel adalah lembaran hukum yang bersih, maka penangkapan terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid adalah sebaliknya. Proses tersebut bagaikan lembaran yang penuh noda, goresan, dan bagian-bagian yang seakan tidak nyambung satu sama lain. Sejak hari pertama penangkapan diumumkan, publik tidak hanya mempertanyakan substansi dugaan korupsinya, tetapi juga prosedur dan narasi yang disampaikan lembaga penegak hukum.
KPK mula-mula menyampaikan bahwa Abdul Wahid ditangkap di sebuah caf. Lalu dalam beberapa media yang dibaca, berubah menjadi barbershop. Pernyataan ini dicatat luas di media nasional. Namun beberapa jam kemudian, kita melihat beberapa media seperti Detik merevisi pemberitaannya dan disebutkan dalam berita yang awalnya dipublish tanggal 5 November 2025, telah mengalami perubahan pada tanggal 7 November 2025 setelah ada penjelasan lanjut dari KPK. Jika diamati secara seksama, revisi pada detail seperti ini memberi sinyal ada sesuatu yang tidak kokoh sejak awal. Bagi sebagian orang, hal ini tampak remeh. Tetapi bagi mereka yang memahami anatomi OTT, perubahan narasi adalah indikator bahwa operasi dilakukan tanpa kesiapan naratif yang matang.
Lebih krusial lagi, diindikasikan tidak ada uang yang ditemukan pada saat OTT. Tidak ada transaksi yang sedang berlangsung. Tidak ada barang bukti yang disita. Tidak ada kontraktor yang tertangkap tangan memberi atau menerima uang. Apa yang ada hanyalah dugaan bahwa Abdul Wahid "meminta" fee proyek sebesar lima persen. Permintaan adalah sesuatu yang berbeda dari penerimaan. Permintaan masih berada dalam ranah intensi atau rencana, sementara penerimaan adalah realisasi tindak pidana.
Dalam Pasal 12 huruf a UU Tipikor, unsur pentingnya adalah "menerima hadiah atau janji". Dalam Pasal 11 UU Tipikor, yang dicari adalah "penerimaan hadiah karena kekuasaan jabatan". Tanpa penerimaan, konstruksi hukum menjadi rapuh. OTT yang tidak menemukan uang bukanlah sesuatu yang mustahil, tetapi dalam praktik KPK, itu jarang terjadi. Karena tanpa barang bukti fisik, perkara menjadi sulit dibuktikan dan rentan dipersoalkan di praperadilan.
Di sisi lain, apa yang terjadi setelah OTT justru memperburuk keadaan. Foto Gubernur Abdul Wahid hilang dari laman resmi PPID Pemerintah Provinsi Riau (walau diterbitkan lagi, diduga setelah ada tulisan Hilangnya Photo Gubernur Riau (Berhalangan Sementara) dari Laman PPID Pemprov.). Istilah "Gubernur non-aktif" digunakan secara bebas, padahal UU 23/2014 tegas menyatakan bahwa kepala daerah baru dapat berstatus non-aktif apabila menjadi terdakwa, bukan tersangka. Pelaksana Harian (Plh.) bahkan melakukan tindakan strategis berupa mutasi pejabat, padahal Plh. hanya memiliki kewenangan menjalankan tugas rutin.
Langkah-langkah administratif yang melebihi kewenangan ini bukan hanya pelanggaran aturan, tetapi juga menimbulkan dugaan bahwa OTT terhadap Abdul Wahid membuka ruang bagi percepatan perebutan kendali pemerintahan daerah. Dalam situasi seperti itu, OTT bukan lagi sekadar tindakan hukum, tetapi bagian dari dinamika politik lokal.
Ketidakhadiran barang bukti, perubahan narasi, kontradiksi keterangan, dan tindakan administratif yang tidak sesuai aturan menjadikan OTT Abdul Wahid berjalan dalam bayang-bayang ketidakpastian. Jika OTT Noel adalah simfoni rapi dalam penegakan hukum, OTT Abdul Wahid adalah komposisi yang fals sejak nada pertama.
Ketimpangan Perlakuan, Kerapuhan Unsur, dan Peluang Praperadilan yang Terbuka Lebar
Ketika kedua OTT (Noel dan Gubernur Riau Abdul Wahid) ini diletakkan berdampingan, terlihat betapa timpangnya kualitas penegakan hukum dalam dua kasus tersebut. OTT Noel berdiri tegak di atas bukti fisik, narasi konsisten, dan unsur delik yang terpenuhi. Sementara itu, OTT terhadap Gubernur Riau (Berhalangan Sementara) Abdul Wahid berdiri di atas dugaan, keterangan yang berubah-ubah, serta ketidakhadiran barang bukti. Dalam penegakan hukum pidana, perbedaan ini bukan sekadar teknis, tetapi menentukan sah atau tidaknya suatu penetapan tersangka.
Dalam praperadilan, hakim akan memeriksa apakah penetapan tersangka didukung dua alat bukti permulaan yang cukup. Dalam kasus Noel, bukti permulaan itu tidak hanya cukup, tetapi melimpah. Dalam kasus Abdul Wahid, bukti permulaan justru cenderung kabur. Hakim praperadilan dalam beragam putusan, termasuk kasus Budi Gunawan dan kemenangan praperadilan Edward Omar Sharif Hiariej telah memberikan preseden bahwa ketiadaan bukti kuat dapat membatalkan penetapan tersangka.
Narasi lokasi penangkapan yang berubah dalam kasus Abdul Wahid juga memperlihatkan ketidakkonsistenan. Hakim praperadilan tidak hanya menilai bukti, tetapi juga menilai apakah tindakan penegak hukum dilaksanakan sesuai prosedur. Ketika narasi berubah, maka prosedur itu patut dipertanyakan.
Tindakan administratif pemerintah daerah setelah OTT, khususnya penghilangan foto gubernur dan penggunaan istilah "non-aktif", dapat menunjukkan adanya atmosfer politis yang mempengaruhi penegakan hukum. Meskipun praperadilan tidak menilai motif politik, hakim dapat melihat bahwa tindakan penangkapan tidak terjadi dalam ruang yang netral.
Jika memang pada kenyataannya nanti terkuat tidak adanya transaksi, tidak adanya uang, tidak adanya barang bukti, tidak adanya konsistensi narasi, dan adanya pelanggaran administratif pasca-OTT, konstruksi hukum terhadap Abdul Wahid dapat dikatakan menjadi rapuh. Peluang praperadilan terbuka lebar. Dan di sinilah perbandingan antara OTT Noel dan OTT Abdul Wahid menjadi sangat penting. Diaman yang satu berdiri di atas fondasi kokoh, yang lain berdiri di atas tanah yang rapuh.
Saya menyimpulkan, OTT Noel adalah gambaran operasi penegakan hukum yang ideal. OTT Abdul Wahid, sebaliknya, adalah contoh operasi yang menyisakan banyak tanda tanya dan celah hukum. Penegakan hukum yang adil bukan hanya menghukum mereka yang bersalah, tetapi juga memastikan bahwa prosedur dijalankan dengan benar. Tanpa itu, hukum hanya akan menjadi alat untuk membenarkan tindakan yang salah arah. (*)
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Kekeliruan Dalam Menyamakan Antara OTT Immanuel Ebenezer dan Gubernur Riau (Berhalangan Sementara) Abdul Wahid”