Rapat Evaluasi MBG, Gubri: Banyak Anak Protes Soal Rasa, Pengawasan Dapur Diperketat

Selasa, 21 Oktober 2025 | 23:29:00 WIB

SEBALIK.COM, PEKANBARU — Gubernur Riau Abdul Wahid bersama Deputi Bidang Pemantauan dan Pengawasan Badan Gizi Nasional (BGN) Dadang Hendrayudha menggelar rapat evaluasi pelaksanaan program prioritas Presiden tentang Makan Bergizi Gratis (MBG) di Provinsi Riau. Pertemuan berlangsung di Ruang Melati, Kantor Gubernur Riau, Selasa (21/10/2025).

Dalam pemaparannya, Gubri Wahid menyampaikan bahwa Pemprov Riau telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penyelenggaraan MBG yang diketuai oleh Sekretaris Daerah (Sekda) dan melibatkan seluruh Sekda kabupaten/kota se-Riau.

Ia menjelaskan, pemantauan lapangan dilakukan hampir setiap minggu untuk memastikan kualitas makanan dan kesiapan dapur penyedia MBG. Saat ini, cakupan program baru mencapai sekitar 10 persen dari total masyarakat sasaran.

“Respon masyarakat cukup positif. Banyak orang tua merasa terbantu karena anak-anak mereka tidak perlu lagi membawa bekal dari rumah,” ujar Wahid.

Namun, pelaksanaan program ini juga menghadapi sejumlah kendala. Di awal pelaksanaan, hanya sekitar 50 persen siswa yang mau mengonsumsi makanan bergizi yang disediakan. Setelah dilakukan evaluasi, sebagian anak mengeluhkan rasa makanan yang kurang sesuai selera.

“Saya minta dapur-dapur penyedia memperbaiki kualitas rasa. Anak-anak boleh menyampaikan kritik, tapi cukup ditulis dan dimasukkan ke wadah makan, tidak perlu diviralkan di media sosial,” tegas Wahid.

Selain soal rasa, Wahid menyoroti keterbatasan sarana pengujian bahan pangan. Pada 2025, Riau baru memiliki 112 unit rapid test kit (80 unit untuk pestisida dan 32 untuk formalin). Padahal, setiap Sentra Penyediaan Pangan Gizi (SPPG) diwajibkan melakukan uji minimal lima jenis komoditas pangan segar.

Hingga kini, baru 15 SPPG yang aktif melakukan pengujian, terdiri dari 12 titik di Pekanbaru dan 3 di Kabupaten Kampar. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya bahan pangan yang masih didatangkan dari luar provinsi, membuat pengawasan mutu dan keamanan pangan menjadi lebih rumit.

Bahkan, sempat terjadi kasus keracunan akibat makanan basi, karena sejumlah dapur memasak sejak malam hari untuk disajikan keesokan harinya.

“Prosedur idealnya memasak antara pukul 2 hingga 5 pagi, tapi pengawasan di lapangan masih lemah,” ungkap Wahid.

Sementara itu, Deputi Dadang Hendrayudha menyampaikan bahwa di Pekanbaru terdapat sekitar 873 SPPG, namun sebagian besar belum memiliki dapur aktif.

“Sebagian tenaga kerja sudah digaji, tapi belum bekerja optimal karena belum tersedia fasilitas dapur. Ini perlu disinkronkan agar dana tidak terbuang sia-sia,” jelas Dadang.

Ia juga menekankan pentingnya kehadiran tenaga ahli gizi dan akuntan di setiap dapur MBG. Menurutnya, menu yang disajikan sebaiknya tidak seragam secara nasional, melainkan disesuaikan dengan bahan lokal.

“Ahli gizi penting untuk memastikan keseimbangan kalori, protein, dan karbohidrat dalam menu. Sayangnya, tenaga seperti ini masih sangat langka,” kata Dadang.

Untuk mempercepat pelaksanaan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), Dadang menjelaskan bahwa pembangunan SPPG tidak harus melalui portal nasional. Investor lokal diperbolehkan langsung mendaftar melalui Satgas kabupaten/kota.

Desain SPPG di Riau memiliki luas 150 meter persegi, dilengkapi dengan kantor, gudang, ruang pengolahan, penyimpanan, hingga area pencucian.

“Program MBG ini bukan sekadar memberi makan, tapi membangun sistem pangan bergizi yang sehat, aman, dan berkeadilan untuk semua anak Indonesia,” pungkas Dadang. (Maoelana)

Terkini