Mutasi Plat ke BM dan Jalan Menuju Keadilan Fiskal

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 06:22:44 WIB
Asri Auzar

Oleh: Asri Auzar

DIANTARA banyaknya keputusan publik yang lahir dari kebutuhan politik, ada keputusan yang hadir karena tuntutan moral dan nalar kebijakan. 

Kebijakan mutasi plat kendaraan operasional ke kode BM yang digulirkan Gubernur Riau Abdul Wahid termasuk dalam kategori terakhir. 

Ia tidak lahir dari keinginan populer, melainkan dari kesadaran bahwa keadilan fiskal dan keberlanjutan infrastruktur tidak mungkin ditegakkan tanpa keberanian menagih kewajiban pada mereka yang paling menikmati fasilitas publik.

Provinsi Riau memiliki total panjang jalan 21.583 kilometer, dan lebih dari 94 persen di antaranya (20.325 kilometer) dibiayai oleh pemerintah daerah. Angka ini menegaskan satu fakta penting, bahwa hampir seluruh beban konektivitas ekonomi Riau dipikul oleh APBD. 

Namun, sebagian besar kendaraan berat yang memanfaatkan jalan-jalan itu -- khususnya armada perusahaan di sektor kehutanan, perkebunan, dan industri pengolahan -- tidak terdaftar di Riau. Pajaknya dibayar ke provinsi lain, sementara biaya perawatan dan perbaikan ditanggung oleh masyarakat Riau.

Paradoks fiskal ini telah berlangsung lama. Jalan-jalan provinsi yang rusak, dari Minas–Perawang hingga Dumai–Duri, bukan hanya menyulitkan transportasi, tetapi telah menimbulkan kerugian ekonomi dan korban keselamatan jiwa. 

Dalam konteks ini, kebijakan mutasi plat ke BM bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan langkah korektif untuk menegakkan prinsip dasar keadilan dalam hubungan fiskal antarwilayah.

Berpijak pada Hukum dan Rasionalitas 

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), telah menetapkan bahwa pajak kendaraan bermotor dipungut di tempat kendaraan beroperasi tetap. Artinya, kendaraan yang beroperasi secara permanen di Riau sepatutnya terdaftar di Riau.

Dengan demikian, kebijakan mutasi plat ke BM memiliki dasar hukum yang kuat. Ia bukan keputusan sepihak seorang gubernur, melainkan penerapan prinsip fiskal nasional yang telah lama diamanatkan undang-undang.

Namun kebijakan yang berpijak pada hukum tidak cukup tanpa pemahaman teknis. Dalam ilmu teknik jalan, dikenal hukum yang menunjukkan bahwa kerusakan jalan meningkat dengan pangkat empat terhadap beban kendaraan. Satu kendaraan berat yang melampaui tonase standar dapat mempercepat kerusakan jalan secara eksponensial.

Di Riau, hal ini diperparah oleh karakteristik geografis daerah. Sekitar 64 persen wilayah daratan Riau merupakan kawasan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang sangat sensitif terhadap tekanan fisik. Kerusakan jalan di wilayah ini tidak hanya menyebabkan gangguan lalu lintas, tetapi juga merusak tata air dan meningkatkan risiko kebakaran lahan.

Dalam konteks itu, kebijakan mutasi plat ke BM dapat dibaca sebagai mekanisme internalisasi biaya eksternal, yakni menempatkan tanggung jawab perawatan infrastruktur pada pihak yang memperoleh manfaat ekonomi terbesar dari penggunaannya.

Menjawab Kekhawatiran Dunia Usaha 

Sebagian kalangan dunia usaha menyampaikan kekhawatiran bahwa mutasi plat akan menambah beban administratif dan menurunkan daya saing investasi. Kekhawatiran itu wajar, tetapi tidak sepenuhnya berdasar. 

Pemerintah Provinsi Riau telah menyiapkan sejumlah mekanisme untuk memastikan implementasi kebijakan ini agar berjalan efisien dan tidak membebani pelaku usaha.

Pelayanan mutasi kendaraan kini dapat dilakukan secara cepat melalui unit layanan di lokasi perusahaan, bahkan dengan sistem jemput bola. Untuk perusahaan dengan kontrak jangka pendek, disiapkan pula opsi izin operasional sementara dengan kompensasi fiskal yang sepadan.

Kebijakan ini tidak menyasar kendaraan yang hanya transit melintasi wilayah Riau. Fokusnya adalah kendaraan operasional yang beraktivitas tetap dan rutin menggunakan infrastruktur daerah. Dengan diferensiasi seperti ini, prinsip keadilan tetap dijaga tanpa menghambat arus logistik antarprovinsi.

Relokasi perusahaan juga bukan ancaman nyata. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa faktor utama penentu keberlanjutan bisnis adalah infrastruktur yang andal dan kepastian regulasi, bukan lokasi pendaftaran kendaraan. Dalam jangka panjang, perusahaan justru akan diuntungkan oleh infrastruktur yang lebih terpelihara dan efisien.

Kebijakan mutasi plat ke BM sesungguhnya membuka peluang pembenahan tata kelola infrastruktur daerah. Dengan pajak kendaraan bermotor masuk ke kas daerah tempat kendaraan beroperasi, pemerintah dapat memperkuat pembiayaan perawatan jalan di koridor produksi, sekaligus menurunkan ketergantungan pada dana transfer pusat.

Lebih dari itu, kebijakan ini mendorong tumbuhnya kemitraan fiskal antara pemerintah dan dunia usaha. Perusahaan dapat diajak berkontribusi dalam program perawatan infrastruktur melalui mekanisme tanggung jawab sosial, public-private partnership, atau kerja sama pemeliharaan jalan di wilayah operasinya. 

Dengan cara itu, kepentingan ekonomi dan kepentingan publik tidak lagi saling meniadakan, melainkan saling menopang.

Dimensi Moral dan Kepemimpinan yang Berani 

Pada akhirnya, kebijakan publik selalu menyentuh dimensi moral: siapa yang menanggung beban, dan siapa yang menikmati hasil. Jalan raya adalah ruang publik. 

Ia memungkinkan anak pergi ke sekolah, petani mengangkut hasil panen, dan industri menyalurkan produksi. Karena itu, setiap pelaku ekonomi yang memanfaatkan fasilitas publik harus turut memikul tanggung jawab atas keberlanjutannya.

Ketika sebagian pihak menikmati manfaat infrastruktur tanpa menanggung beban pemeliharaan, di situlah keadilan publik terganggu. Kebijakan mutasi plat ke BM adalah koreksi terhadap ketimpangan itu. 

Ia menegakkan prinsip bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan infrastruktur dan lingkungan hidup daerah.

Langkah Gubernur Abdul Wahid menegaskan bahwa kepemimpinan bukan sekadar kemampuan mengambil keputusan, tetapi juga keberanian menanggung konsekuensinya. Mutasi plat ke BM mungkin tidak populer, namun ia benar secara hukum, logis secara teknis, dan adil secara moral.

Jika dilaksanakan dengan transparansi dan partisipasi publik, kebijakan ini berpotensi menjadi tonggak penting tata kelola daerah: mengurangi ketimpangan fiskal, memperkuat kemandirian pembiayaan infrastruktur, serta menjaga keseimbangan ekologis wilayah.

Riau tengah menunjukkan bahwa keberanian fiskal adalah bentuk tertinggi dari tanggung jawab pemerintahan. Bahwa ruang publik -- jalan, lingkungan, dan keadilan -- bukan sekadar biaya yang harus ditanggung pemerintah, tetapi warisan yang harus dijaga bersama. (*)

Halaman :

Terkini