Oleh: Iben Nuriska (Benni Ihsan)
ADA momen ketika sebuah pemerintahan dipaksa berhenti bermain kata-kata dan meneguhkan pilihan yang lebih berat, memilih antara retorika yang menyenangkan dan tanggung jawab yang berisiko.
Di titik ini, kepemimpinan publik diuji bukan pada seberapa pandai ia merangkai janji, melainkan pada seberapa berani ia menagih kewajiban demi kepentingan bersama.
Deklarasi Gubernur Riau, Abdul Wahid, agar perusahaan yang beroperasi permanen di wilayah provinsi segera melakukan mutasi kendaraan operasional ke plat BM, adalah perwujudan pilihan itu.
Ini bukan tindakan populis, bukan pula sekadar simbol ketegasan. Ini adalah kebijakan publik yang berdiri di atas fondasi hukum, nalar teknis, dan prinsip moral tentang keadilan fiskal.
Siapa pun yang melintasi jalur Minas–Perawang, atau koridor distribusi serupa di Riau, akan memahami mengapa kebijakan ini lahir. Kerusakan jalan bukan lagi sekadar lubang kecil yang bisa ditambal, ia sudah menjadi ancaman sistemik yang memperlambat arus barang, menaikkan biaya logistik, dan —yang paling menyayat—menelan korban jiwa.
Bupati Siak telah mengeluarkan peringatan terbuka tentang kondisi kritis ini. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kendaraan berat yang melintas saban hari, sebagian besar berplat luar daerah, mempercepat degradasi jalan.
Ironinya, biaya perbaikan ditanggung APBD Riau, sementara penerimaan pajak kendaraan masuk ke kas provinsi lain. Inilah paradoks fiskal yang mencederai rasa keadilan dan menuntut koreksi kebijakan.
Kebijakan fiskal yang benar hanya dapat berdiri jika berpijak pada hukum. Dalam hal ini, pijakan itu jelas. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah menegaskan bahwa pajak kendaraan bermotor dipungut di tempat kendaraan terdaftar.
Artinya, bila kendaraan beroperasi secara permanen di Riau, wajar dan sah bahwa kewajiban pajaknya pun harus ditunaikan di Riau.
Mutasi plat nomor kendaraan bukan kehendak gubernur semata, melainkan penerapan dari prinsip hukum fiskal nasional.
Apa yang disampaikan Abdul Wahid sejatinya adalah penegasan ulang atas kerangka hukum negara. Kebijakan ini, dengan demikian, memiliki legitimasi konstitusional yang kuat.
Ilmu teknik jalan mengajarkan sesuatu yang sederhana tapi sering diabaikan. Dampak beban kendaraan terhadap kerusakan jalan tidak bersifat linear.
Satu kendaraan berat yang melampaui tonase standar tidak hanya merusak sedikit lebih cepat, tetapi berlipat ganda lebih parah. Hal ini dikenal dengan istilah fourth-power law.
Setiap truk over-dimension dan over-load (ODOL) yang melewati jalan provinsi Riau berarti percepatan kerusakan berlipat, memperpendek umur jalan secara dramatis, dan membebani APBD dengan biaya perbaikan yang melonjak.
Mutasi plat, dalam perspektif ini, bukan sekadar administrasi fiskal. Ini adalah mekanisme internalisasi biaya eksternal. Ia menempatkan sebagian tanggung jawab kembali ke pihak yang menikmati keuntungan ekonomi dari infrastruktur publik.
Sejumlah pihak mencoba menyemai keraguan. Mereka berargumen bahwa kontrak kerja bersifat tentatif, atau bahwa mutasi akan menambah birokrasi, atau bahkan mengancam relokasi perusahaan. Semua itu terdengar serius, tetapi secara analitis tidak berdasar.
1. Beda transit dan beroperasi. Kebijakan ini tidak menyasar kendaraan yang sekadar melintas. Fokusnya adalah kendaraan yang beroperasi permanen, mengambil keuntungan dari infrastruktur lokal, dan menyumbang kerusakan jalan. Dengan diferensiasi ini, argumen terlalu membebani perusahaan jelas gugur.
2. Beban administratif dapat dipecahkan. Pemerintah provinsi telah membuka opsi percepatan mutasi, pelayanan langsung ke perusahaan, bahkan mekanisme izin operasional sementara. Ini menunjukkan bahwa kebijakan ini bukan instrumen represi, melainkan desain penataan yang fleksibel dan adaptif.
3. Ancaman relokasi adalah retorika, bukan realitas. Perusahaan memilih lokasi produksi berdasarkan kombinasi faktor: akses bahan baku, tenaga kerja, stabilitas regulasi, serta kelayakan infrastruktur. Pajak kendaraan hanyalah salah satu variabel kecil. Justru jalan yang terawat baik akan memperkuat daya saing bisnis. Dalam jangka panjang, kontribusi fiskal yang adil adalah investasi stabilitas usaha.
Kebijakan mutasi plat nomor kendaraan jika dijalankan dengan kebijaksanaan, membuka jalan bagi model kolaborasi baru antara pemerintah dan dunia usaha. Perusahaan yang aktivitasnya membebani jalan bisa diarahkan untuk ikut serta dalam perjanjian perawatan infrastruktur, baik dalam bentuk kontribusi fiskal, dana tanggung jawab sosial, maupun kerja sama publik-swasta.
Di sini, keadilan fiskal bukan hanya soal memungut kewajiban, tetapi juga membangun tata kelola yang lebih matang: mengubah potensi konflik menjadi sinergi.
Lebih dari hukum dan sains, ada dimensi moral yang tidak boleh diabaikan. Jalan adalah milik bersama, ruang publik yang memungkinkan anak-anak pergi ke sekolah, pedagang mengangkut barang, dan masyarakat mengakses layanan dasar.
Ketika sebagian pihak memanfaatkannya tanpa menanggung biaya pemeliharaan secara proporsional, keadilan distributif dilanggar. Kebijakan mutasi plat adalah koreksi atas pelanggaran itu. Ia menegakkan prinsip bahwa keuntungan ekonomi tidak boleh dibangun di atas kerugian publik.
Menunda kebijakan ini, sebagaimana yang diserukan segelintir pihak, berarti membiarkan biaya meledak di masa depan.
Jalan yang rusak hari ini akan menuntut perbaikan lebih besar esok hari. Setiap tahun penundaan adalah akumulasi biaya tambahan, risiko kecelakaan, dan hilangnya produktivitas.
Kebijakan tegas Gubernur Abdul Wahid mengirim sinyal yang jelas. Riau tidak lagi bersedia menanggung paradoks fiskal dan teknis yang merugikan.
Kebijakan ini bukan sekadar soal pajak kendaraan, melainkan langkah strategis untuk melindungi infrastruktur publik, mengurangi risiko keselamatan, dan menjaga keberlanjutan fiskal daerah.
Sejarah akan menilai bahwa ada masa ketika kepemimpinan diuji. Apakah ia memilih kenyamanan retorika atau keberanian tanggung jawab. Dalam kebijakan mutasi plat ke BM, pilihan itu sudah jelas.
Abdul Wahid menempatkan kepemimpinannya di jalur yang tidak selalu populer, tetapi perlu; tidak selalu mudah, tetapi benar. Kebijakan ini memiliki legitimasi hukum, urgensi teknis, manfaat fiskal, serta kekuatan moral.
Jika dilaksanakan dengan transparansi, kebijaksanaan, dan partisipasi publik, kebijakan ini akan dikenang bukan sebagai represi fiskal, melainkan sebagai tonggak tata kelola: warisan kepemimpinan yang berani menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan segelintir pihak.
Bagi Riau, inilah saatnya menegaskan bahwa jalan raya adalah hak publik, bukan beban gratis bagi keuntungan segelintir pihak. Dan dalam menegakkan hak itu, mutasi plat ke BM bukan sekadar pilihan kebijakan, ia adalah keniscayaan sejarah. ()