Riau dan Nostalgia Migas: Saatnya Bangun dari Tidur Panjang

Kamis, 25 September 2025 | 17:59:43 WIB
Irvan Nasir

Oleh: Irvan Nasir

SELAMA puluhan tahun, kata “Riau” selalu membawa satu asosiasi yang sama: minyak dan gas. Minas, Duri, Zamrud – nama-nama itu seperti mantra yang menghidupkan kebanggaan kolektif kita. Ada romantisme yang melekat: cerita tentang “dollar Caltex”, tentang bagaimana uang minyak mengalir deras, tentang masa ketika Riau menjadi penyumbang devisa terbesar negeri ini.

Namun, izinkan saya bertanya: apakah kita masih hidup di masa itu? Atau kita hanya hidup dari kenangan kejayaan?

Migas: Cerita Lama yang Kita Sulit Lepaskan

Tak bisa dipungkiri, migas adalah fondasi ekonomi Riau di masa lalu. Ribuan keluarga hidup dari sektor ini. Infrastruktur, pendidikan, bahkan identitas sosial banyak dibentuk oleh industri ini. Tapi kini realitas berkata lain. Produksi minyak menurun dari tahun ke tahun. Banyak sumur sudah melewati puncak produksi. Blok-blok tua semacam CPP, Langgak sudah beralih pengelolaannya, karena kontrak besar sudah berakhir.

Sementara kita masih terus merayakan Riau sebagai “negeri minyak”, dunia telah bergerak cepat. Transisi energi global berlangsung. Negara-negara mulai meninggalkan bahan bakar fosil. Mobil listrik diproduksi massal. Eropa dan Amerika memberi tenggat waktu untuk energi netral karbon. Dunia berkata: “era minyak hampir selesai.”

Pertanyaannya: apakah Riau sudah bersiap? Ataukah kita masih mabuk kemenangan masa lalu, memuja migas seolah ia tak akan pernah pergi?

Data Bicara Lebih Jujur dari Nostalgia

Lihatlah data Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 90% ekspor Riau berasal dari sektor non-migas. Ya, Anda tidak salah baca: non-migas.

Produk-produk yang mendominasi ekspor kita hari ini bukan lagi minyak mentah atau gas, melainkan minyak sawit, produk hilir CPO, pulp dan kertas, karet, serta sedikit hasil perikanan. Migas hanya menyumbang sekitar 5–10% dari total ekspor.

Artinya, ekonomi Riau hari ini sudah didorong oleh sektor-sektor di luar migas. Tetapi anehnya, dalam pikiran kolektif kita, migas masih dianggap primadona. Seolah-olah tanpa migas, Riau akan berhenti bergerak. Ini adalah kesalahpahaman yang perlu kita luruskan.

Mengapa Mindset Ini Berbahaya?

Jika kita terus memuja migas, kita akan terlambat membaca peta jalan ekonomi masa depan. Kita akan kehilangan momentum untuk mengembangkan industri hilir sawit, membangun pariwisata, memperkuat sektor perikanan, mempercepat transformasi logistik, dan mendorong inovasi di kabupaten/kota.

Lebih parah lagi, ketergantungan pada migas membuat kita rentan pada gejolak harga minyak dunia. Ketika harga jatuh, penerimaan daerah ikut merosot. Padahal, kita punya sumber pertumbuhan lain yang lebih stabil jika dikelola dengan serius.

Waktunya Bangun dari Tidur Panjang

Kita tidak perlu menyesali berakhirnya kejayaan migas. Kita justru harus berterima kasih pada sejarah, lalu bergerak maju. Nostalgia boleh ada, tetapi tidak boleh membelenggu.

Kita perlu memandang migas sebagai “yesterday economic” – ekonomi kemarin yang sudah memberi kita fondasi, tetapi tidak bisa terus menjadi sandaran. Masa depan harus kita rebut dengan cara baru:

Mendorong hilirisasi industri agar nilai tambah CPO, karet, dan sagu dinikmati di Riau, bukan di tempat lain apalagi luar negeri.

Mengembangkan kawasan industri yang mampu menarik investasi baru.

Membangun kabupaten dan kota sebagai pemain utama – Dumai dengan hilirisasi, Siak dengan wisata budaya, Meranti dengan sagu, Pekanbaru dengan jasa dan pendidikan.

Meningkatkan literasi ekonomi masyarakat agar mereka sadar bahwa “uang minyak” bukan lagi sumber utama kemakmuran.

Ajakan untuk Kita Semua

Kita perlu mengubah cara pandang: dari Riau sebagai “ladang minyak” menjadi Riau sebagai “pusat inovasi dan perdagangan.” Kita perlu menyadari bahwa kemakmuran tidak akan datang dari menunggu migas, tetapi dari menciptakan ekonomi baru.

Ini bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi juga dunia usaha, akademisi, media, dan masyarakat sipil. Media perlu menyebarkan data, bukan sekadar mitos. Dunia usaha perlu membuka investasi baru. Akademisi perlu menyiapkan SDM yang siap mengisi sektor masa depan. Dan kita, sebagai masyarakat, perlu mendukung kebijakan yang mendorong diversifikasi ekonomi.

Penutup

Kita mungkin pernah kaya karena minyak. Tapi untuk tetap makmur, kita perlu kaya akan gagasan, kerja keras, dan inovasi. Migas telah memberi kita masa lalu yang gemilang. Kini tugas kita adalah memberi anak cucu masa depan yang tidak kalah gemilang.

Mari bangun dari tidur panjang. Riau punya potensi besar – dan potensi itu hanya akan nyata jika kita berhenti memuja masa lalu dan mulai menatap masa depan. (*)

Terkini