Artificial Inteligent (AI): Manfaat dan Tantangan

Senin, 08 September 2025 | 06:30:00 WIB

Oleh: Irvan Nasir

BAYANGKAN seorang mahasiswa yang tengah gelisah menghadapi tenggat tugas esok pagi. Dengan hanya beberapa klik, ia membuka aplikasi kecerdasan buatan, mengetikkan instruksi, dan dalam hitungan menit makalah yang rapi sudah tersaji. 

Praktis, cepat, dan seakan tanpa cela. Bagi sebagian pelajar, inilah wajah baru “keajaiban” belajar di era digital. Namun di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan besar: apakah mereka benar-benar belajar, atau sekadar menjadi operator mesin yang bekerja untuk mereka?

    Hari ini, hampir semua pelajar dan mahasiswa sudah mengenal kecerdasan buatan (AI). Ada yang memanfaatkannya untuk mencari referensi, ada pula yang menggunakannya sebagai “asisten” menyelesaikan tugas. ChatGPT, Gemini, Deep Seek dan berbagai aplikasi serupa dapat menuliskan makalah, menjawab soal matematika, bahkan menjelaskan konsep-konsep rumit dalam fisika maupun kimia. Dengan bantuan mesin ini, pekerjaan yang tadinya memakan waktu lama bisa selesai dalam hitungan menit.

    Namun, kemudahan yang ditawarkan AI sekaligus menghadirkan tantangan baru. Semakin banyak pelajar mengandalkan mesin, semakin besar pula risiko menurunnya motivasi belajar. 

    Mereka mungkin terbiasa dengan jawaban instan, tetapi kehilangan proses berpikir yang justru membuat ilmu benar-benar melekat. Karena itu, Kementerian Pendidikan merasa perlu membuat regulasi tentang pemanfaatan AI, agar teknologi ini tetap menjadi alat bantu, bukan pengganti usaha belajar.

    Tentu saja, regulasi hanyalah pintu awal. Guru dan dosen memegang peran penting dalam membimbing siswa. Mereka harus menanamkan pemahaman bahwa AI bukan “jalan pintas”, melainkan jembatan menuju penguasaan pengetahuan. 

    Tugas pendidik bukan melarang, tetapi mengarahkan: bagaimana teknologi ini dipakai untuk memperkaya wawasan, bukan sekadar menyalin jawaban. Dengan begitu, pelajar tetap terbiasa menganalisis, bertanya, dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis.

    Lebih jauh, kurikulum di berbagai jurusan pun perlu beradaptasi. Pemanfaatan AI yang kadang diplesetka  "Akal Imitasi" sebaiknya tidak hanya diperkenalkan secara sambil lalu, melainkan diajarkan secara sistematis. 

    Misalnya, bagaimana cara memverifikasi informasi dari AI, bagaimana menggunakannya untuk riset, atau bagaimana menjaga etika akademik di tengah derasnya arus teknologi. Jika diarahkan dengan benar, AI justru bisa melatih pelajar untuk lebih peka terhadap kualitas data, keabsahan sumber, dan cara berpikir yang lebih tajam.

    Namun, konteks Indonesia menghadirkan tantangan yang lebih serius. Kita masih berhadapan dengan tingkat literasi yang rendah dan minat baca yang rapuh. 

    Banyak pelajar belum terbiasa membaca mendalam, apalagi mengkritisi informasi. Budaya instan yang sudah mengakar dalam keseharian; dari kebiasaan menyontek, belajar kilat menjelang ujian, hingga budaya “asal cepat selesai” berpotensi semakin diperkuat dengan hadirnya AI. 

    Jika tidak diantisipasi, generasi muda bisa semakin jauh dari kebiasaan berpikir kritis dan cenderung bergantung pada mesin untuk semua jawaban.

    Di sinilah pentingnya keseimbangan. AI bukanlah musuh, tetapi ia bisa menjerumuskan jika digunakan tanpa kendali. Mesin ini tidak pernah benar-benar “mengerti”. Ia hanya bekerja dengan mengolah data yang sudah ada, merangkum pola, lalu menyajikan jawaban. AI bisa tampak cerdas, tetapi ia tidak memiliki intuisi, emosi, atau kebijaksanaan.

    Sebaliknya, otak manusia memiliki kekuatan yang jauh lebih kompleks. Benar bahwa kapasitas memori kita terbatas, hipokampus dalam otak kita tidak mampu menampung seluruh informasi layaknya bank data digital. 

    Tetapi manusia punya keunggulan unik: kemampuan belajar mendalam. Seorang pelajar yang tekun, memahami konsep, lalu berlatih berulang, akan mencapai keahlian yang melekat kuat. Pengetahuan itu bukan sekadar tumpukan data, melainkan bagian dari dirinya, sesuatu yang sulit dihapus.

    Karena itu, tantangan kita di Indonesia bukan sekadar “boleh atau tidak” menggunakan AI, melainkan bagaimana menempatkannya dengan bijak di tengah kondisi literasi yang masih lemah. AI bisa menjadi sahabat belajar yang setia yang menjasi pembuka cakrawala baru, mempercepat pencarian informasi, dan mempermudah pemahaman. Tetapi ia tidak bisa menggantikan kesungguhan manusia dalam berpikir, membaca, dan berlatih.

    Pada akhirnya, kemajuan tidak lahir dari mesin, melainkan dari manusia yang mau memanfaatkan mesin tanpa kehilangan jati dirinya sebagai pembelajar. AI boleh menjadi cahaya, tetapi hanya akan berguna bagi mereka yang mau menyalakan api pengetahuan dalam dirinya sendiri. [naz]

Terkini