SEBALIK.COM, JAKARTA – Center of Economic and Law Studies (Celios) merilis hasil kajian terbaru yang menunjukkan bahwa rangkaian banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra pada November 2025 menimbulkan kerugian ekonomi mencapai Rp 68,67 triliun. Temuan ini mengungkap besarnya dampak bencana ekologis yang dipicu oleh kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa estimasi kerugian tersebut meliputi kerusakan rumah warga, hilangnya pendapatan rumah tangga, kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan, hingga hilangnya produksi pertanian akibat lahan yang tergenang.
“Bencana ekologis di Sumatra diproyeksikan telah mengakibatkan kerugian ekonomi Rp 68,67 triliun,” ujarnya, dikutip dari Republika, Selasa (2/12/2025).
Secara rinci, Aceh diperkirakan menanggung kerugian Rp 2,04 triliun, Sumatra Utara Rp 2,07 triliun, dan Sumatra Barat Rp 2,01 triliun. Perhitungan itu menggunakan sejumlah asumsi, mulai dari biaya kerusakan rumah sekitar Rp 30 juta per unit, biaya pembangunan ulang jembatan sebesar Rp 1 miliar per jembatan, kehilangan pendapatan selama 20 hari kerja, hingga nilai kehilangan produksi lahan sawah berdasarkan produktivitas rata-rata 7 ton per hektare.
Celios menilai rentetan banjir dan longsor tersebut merupakan konsekuensi dari deforestasi dan kegiatan pertambangan yang masif. Studi lembaga itu menunjukkan wilayah dengan basis sektor tambang memiliki risiko lebih tinggi mengalami bencana ekologis dibandingkan daerah non-tambang.
Bhima menegaskan bahwa kontribusi sektor tambang dan sawit terhadap penerimaan negara maupun daerah tidak sebanding dengan besarnya kerugian akibat bencana. Ia mencontohkan, kerugian Aceh sebesar Rp 2,04 triliun jauh melampaui pendapatan PNBP tambang Aceh yang tercatat baru mencapai Rp 929 miliar hingga Agustus 2025. Dana Bagi Hasil (DBH) perkebunan sawit Aceh sebesar Rp 12 miliar dan DBH Minerba Rp 56,3 miliar juga dinilai terlalu kecil jika dibandingkan dengan dampak ekologis yang ditimbulkan.
Secara nasional, Bhima menyoroti bahwa kerugian Rp 68,67 triliun tersebut bahkan lebih besar dari total penerimaan PHT (Penjualan Hasil Tambang) yang berada di kisaran Rp 16,6 triliun per Oktober 2025.
Atas temuan ini, Celios mendesak pemerintah untuk segera menerapkan moratorium izin tambang dan perluasan kebun sawit. “Sudah waktunya beralih ke ekonomi yang lebih berkelanjutan, ekonomi restoratif. Tanpa perubahan struktur ekonomi, bencana ekologis akan terus berulang dengan kerugian yang semakin besar,” tegas Bhima. (*)