Penyimpangan Konstitusi Kelola Negara Picu Demonstrasi Mahasiswa

Kamis, 11 September 2025 | 12:50:14 WIB
Dr Zulfikri Toguan SH MH MM , dosen Universitas Islam Riau (UIR).

Oleh: Dr Zulfikri Toguan SH MH MM
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR)

SEJAK reformasi 1998, bangsa Indonesia menaruh harapan besar pada demokrasi dan konstitusi. UUD 1945 yang telah diamandemen dijadikan fondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, setelah lebih dari dua dekade, banyak amanat konstitusi justru dikhianati.

Ketika praktik politik menyimpang dari aturan dasar, keadilan sosial diabaikan, dan kekuasaan dipraktikkan untuk kepentingan segelintir elite, lahirlah kekecewaan rakyat. Di titik inilah mahasiswa, sebagai kekuatan moral dan intelektual, merasa terpanggil untuk bergerak. Demonstrasi mahasiswa tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan sebagai respon atas pelanggaran konstitusi yang nyata.

1. Kedaulatan Rakyat yang Tersandera

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Namun, realitas politik hari ini menunjukkan kedaulatan rakyat telah tersandera oleh oligarki. Pemilu yang seharusnya menjadi sarana perwujudan kedaulatan rakyat, sering kali berubah menjadi ajang transaksi kekuasaan. Politik uang, pragmatisme partai, serta koalisi transaksional menyingkirkan idealisme demokrasi.

Rakyat hanya dilibatkan pada saat pemungutan suara, tetapi keputusan-keputusan strategis tetap dikuasai elite. Kondisi ini jelas bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam konstitusi.

2. Persamaan di Depan Hukum yang Cacat Praktik

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.”

Namun, kita masih menyaksikan hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat kecil sering dihukum berat untuk kesalahan kecil, sementara pelaku korupsi kelas kakap atau pejabat berpengaruh justru mendapat perlakuan istimewa.

Ketidakadilan hukum ini menumbuhkan rasa frustrasi di masyarakat. Mahasiswa melihat fenomena tersebut sebagai bentuk nyata pelanggaran konstitusi yang mencederai prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945).

3. Kebebasan Bersuara yang Dibelenggu

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Ironisnya, ruang kebebasan sipil semakin menyempit. Aktivis, akademisi, dan mahasiswa yang kritis kerap dipersekusi, dibungkam, atau dihadapkan pada kriminalisasi. Demonstrasi damai sering dibatasi dengan dalih keamanan.

Kondisi ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi. Demokrasi bukan hanya tentang prosedur elektoral, tetapi juga menjamin kebebasan sipil sebagai pilar negara demokratis.

4. Perekonomian yang Menyimpang dari Amanat Pasal 33

Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dengan cabang-cabang produksi penting dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.

Namun, arah kebijakan ekonomi sering kali bertolak belakang. Liberalisasi pasar, privatisasi sumber daya, dan ketergantungan pada impor melemahkan kedaulatan ekonomi. Deindustrialisasi senyap membuat tenaga kerja terserap di sektor informal dengan kualitas hidup rendah.

Kesenjangan sosial melebar, dan rakyat kecil tidak menikmati hasil pembangunan. Hal ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi pelanggaran langsung terhadap amanat konstitusi.

5. Pemerintahan Bersih yang Gagal Ditegakkan

Pasal 23 UUD 1945 mengamanatkan bahwa pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun, praktik korupsi masih merajalela. Laporan demi laporan menunjukkan bahwa anggaran publik sering kali bocor untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Transparansi anggaran hanya jargon, bukan kenyataan.

Kegagalan mewujudkan pemerintahan bersih ini semakin mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Mengapa Mahasiswa Bergerak?

Mahasiswa adalah kelompok sosial yang memiliki posisi unik: relatif independen dari kekuasaan dan masih memegang idealisme. Ketika melihat pelanggaran konstitusi yang berulang, demokrasi dipermainkan, serta keadilan sosial diabaikan, mahasiswa merasa perlu melakukan koreksi keras.

Demonstrasi mahasiswa bukan sekadar luapan emosi, melainkan pernyataan politik yang sah dalam demokrasi. Ia adalah bentuk “check and balance” terhadap negara yang melenceng dari amanat konstitusi.

Refleksi dan Jalan Keluar

Pelanggaran konstitusi dalam pengelolaan negara adalah alarm keras bagi demokrasi Indonesia. Jalan keluar bukan dengan membungkam kritik atau membatasi demonstrasi, melainkan dengan:

1. Mengembalikan demokrasi pada jalur konstitusi, bukan pada kepentingan oligarki.

2. Menegakkan hukum secara adil tanpa pandang bulu.

3. Menjamin kebebasan sipil sebagai bagian dari hak asasi.

4. Menata ulang kebijakan ekonomi agar sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.

5. Memastikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

Demonstrasi mahasiswa harus dipandang sebagai peringatan moral, bukan ancaman. Ia lahir dari kepedulian terhadap nasib bangsa. Pelanggaran konstitusi yang terus berulang hanya akan menjebak Indonesia dalam siklus krisis politik dan ekonomi.

Sejarah membuktikan, suara mahasiswa selalu menjadi pengingat bahwa konstitusi adalah kompas bernegara. Tanpa ketaatan pada konstitusi, bangsa ini kehilangan arah.

Seperti kata Bung Hatta: “Indonesia tidak kekurangan hukum, tetapi kekurangan orang yang mau taat pada hukum.” Kini, suara mahasiswa kembali menggema: kembalilah pada konstitusi, atau rakyat akan terus menagih di jalanan. (*)

Terkini