Kenapa Pejabat Indonesia Sulit Mundur Meski Berkasus?

Selasa, 09 September 2025 | 09:24:51 WIB

SEBALIK-COM - Di luar negeri, budaya mundur dari jabatan merupakan satu hal yang biasa ketika si pejabat melakukan satu kesalahan atau sedang berkasus.

Namun di Indonesia kenapa pejabatnya sulit untuk mundur meski sedang berkasus atau mendapat desakan publik?

Bahkan, pejabat yang korup juga tidak mengundurkan diri dari posisinya hingga diberhentikan oleh institusi.

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan, keengganan pejabat di Indonesia untuk mundur dari posisi yang didudukinya berkaitan dengan budaya pangreh praja di Jawa.

Pangreh praja adalah istilah yang merujuk pada pemimpin lokal di masa pemerintahan kolonial Belanda. Tugas seorang pangreh praja adalah mengatur daerah jajahan Belanda.

"Kultur di kita (Indonesia) itu yang namanya pejabat atau pangreh praja adalah pengatur negara sehingga orang-orang ini merasa dirinya memang bertugas mengatur, bukan diatur," kata Drajat mengutip Kompas.com, Senin (8/9/2025).

Lantaran sudah terbiasa mengatur, Drajat menambahkan, pejabat di Indonesia acap kali membutuhkan alasan-alasan atas tindakannya.

Hal itu pula yang dilakukan ketika seorang pejabat melakukan kesalahan. "Kalau terjadi kegagalan, maka pejabat biasanya mencari alasan-alasan yang terjadi di tengah masyarakat," imbuhnya.

Menurut Drajat, pejabat yang enggan melepaskan jabatan mencerminkan sikap individualis yang cenderung melakukan pembelaan atas apa yang dilakukan, dan menilai bahwa tindakannya lebih tepat dibanding dengan kesadaran bahwa mereka adalah wakil rakyat.


Kultur mundur ada di Indonesia

Sejarah mencatat, beberapa presiden di Indonesia pernah memutuskan untuk mengundurkan diri di tengah gejolak politik yang terjadi.

Drajat mencontohkan, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memutuskan untuk mundur ketika situasi politik di Indonesia tengah memanas pada 2001.

Begitu juga dengan Presiden kedua RI, Soeharto yang memiliki lengser dari jabatan presiden yang sudah diemban selama 30 tahun usai adanya desakan masyarakat untuk melakukan reformasi pada 1998.

"Artinya, sebenarnya kultur mundur itu ada di Indonesia, di era modern ini, bahkan ada sejak zaman kerajaan, kayak Pangeran Benowo itu juga mundur dari kerajaannya," jelas Drajat.

Keputusan pejabat untuk mundur juga bukan perkara yang mudah dan bisa menjadi buah simalakama. Pasalnya, pemerintah telah menggelontorkan biaya yang tidak sedikit untuk menggelar pemilihan umum (pemilu).

Jika pejabat yang dipilih mengundurkan diri di tengah masa jabatan yang seumur jagung, itu juga dirasa sia-sia. Namun, tetap membiarkannya duduk di jabatannya juga bukan sesuatu yang bijak.

Untuk menghindari hal tersebut, Drajat menimbang bahwa pemerintah perlu mengevaluasi prasyarat Pemilu.

"Harusnya dalam pemilu itu diatur satu prasyarat gitu, sebuah fakta integritas bahwa kalau dia sudah enggak dipercaya dalam segala luas, dia siap untuk mengundurkan diri," kata Drajat.

Sayangnya, prasyarat tersebut tidak ada. Di sisi lain, Drajat juga menilai perlunya ada dewan etik yang membahas soal perkara dan tindakan-tindakan etik yang bisa menyebabkan pemberhentian. (*)

Halaman :

Terkini