Kemenag Jelaskan Dasar Ilmiah Penetapan Waktu Subuh di Indonesia

Selasa, 02 Desember 2025 | 10:13:54 WIB
Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat

SEBALIK.COM, JAKARTA — Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan bahwa penetapan waktu Subuh di Indonesia bukan sekadar perkiraan, melainkan hasil ijtihad kolektif yang menggabungkan kajian astronomi, verifikasi lapangan, dan rujukan fikih dari literatur klasik hingga kontemporer.

Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, menjelaskan bahwa para ulama fikih mendeskripsikan Fajar Shadiq sebagai cahaya putih horizontal yang muncul di ufuk timur dan terus bertambah terang. Deskripsi ini menjadi dasar syar’i yang kemudian diverifikasi dengan metode astronomi modern.

“Fikih memberi definisi, astronomi membantu mengukur. Sinergi keduanya penting agar penetapan ibadah memiliki dasar yang lengkap,” ujar Arsad, Senin (1/12/2025).

Arsad menekankan bahwa penetapan derajat Matahari sekitar –20° melalui forum diskusi, musyawarah pakar falak, dan kajian lintas mazhab. Karakter atmosfer tropis Indonesia, termasuk kelembaban, ketebalan atmosfer, dan polusi cahaya, memengaruhi kemunculan Fajar Shadiq. Observasi berulang menunjukkan cahaya fajar terdeteksi konsisten pada rentang –19° hingga –20°.

“Verifikasi lokal sangat penting. Tidak bisa hanya mengadopsi standar negara lain tanpa pengujian,” tegasnya.

Ia menambahkan, seluruh data pengamatan, foto, dan dokumen lapangan terbuka untuk dikaji peneliti falak maupun ormas Islam, membantah tuduhan manipulasi data.

Kasubdit Hisab Rukyat dan Syariah Kemenag, Ismail Fahmi, memaparkan metode verifikasi yang dilakukan timnya. Pengamatan tidak hanya visual, tetapi juga menggunakan kamera sensitif cahaya rendah, analisis fotometri, dan kurva intensitas cahaya yang dikorelasikan dengan posisi Matahari. Polusi cahaya perkotaan diatasi dengan memilih lokasi pengamatan yang lebih murni, seperti pesisir, dataran tinggi, dan kawasan dengan cakrawala timur terbuka.

Hasil pengamatan berulang di berbagai wilayah seperti Labuan Bajo, Jombang, Riau, dan Sulawesi Selatan menunjukkan kemunculan Fajar Shadiq stabil di derajat Matahari –19° hingga –20° di berbagai musim dan kondisi cuaca. Seluruh dokumentasi dipublikasikan dalam forum resmi bersama pakar astronomi, ormas Islam, dan lembaga pendidikan tinggi.

Ismail menekankan bahwa standar hisab dapat berkembang seiring kemajuan teknologi dan pemahaman ilmiah, tetapi perubahan harus mengikuti kaidah ilmiah yang ketat, bukan klaim perorangan.

“Kepastian waktu ibadah adalah kebutuhan publik yang harus dijaga. Kemenag bekerja dengan kehati-hatian ilmiah, kolektifitas ijtihad, dan akuntabilitas data agar umat beribadah dengan tenang dan yakin,” pungkasnya. (*)

Terkini