Belantara Foundation dan Universitas Pakuan Dorong Pendekatan Koeksistensi untuk Mitigasi Konflik Manusia-Gajah Sumatra

Rabu, 22 Oktober 2025 | 10:33:56 WIB

SEBALIK.COM - Secara bersama Belantara Foundation dan Universitas Pakuan mendorong upaya mitigasi konflik manusia-gajah sumatra melalui pendekatan koeksistensi pada panel diskusi dengan tema “A Conservation Partnership Fighting to Protect Biodiversity in Asia” di Asia Pavilion pada IUCN World Conservation Congress di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), Sabtu, 11 Oktober 2025.

Panel yang diinisiasi oleh Conservation Allies, sebuah organisasi konservasi asal Amerika Serikat, menghadirkan mitra-mitranya di Asia. Mitra-mitra tersebut meliputi Applied Enviromental Research Foundation, India; Royal Society for Protection of Nature Bhutan, Bhutan; The NGO Forum On Cambodia, Kamboja; Malaysian Nature Society, Malaysia; Mindoro Biodiversity Conservation Foundation, Inc., Filipina; serta Belantara Foundation (Indonesia). Di panel diskusi itu Belantara Foundation menggandeng Universitas Pakuan mempresentasikan paparan berjudul Coexistence in the Making: From Human–Elephant Conflict to Harmony in Industrial Landscape atau “Mengupayakan Koeksistensi: Dari Konflik Gajah menuju Sebuah Harmoni di Lanskap Industri” .
Menurut pendapat para ahli, populasi gajah sumatra jumlahnya menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1980-an, populasi gajah yang ada di Pulau Sumatra diperkirakan masih berjumlah sekitar 2.800-4.800 individu. Kemudian, data Departemen Kehutanan tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah populasi gajah sumatra menurun menjadi sekitar 2.400- 2.800 individu.

Penurunan jumlah populasi gajah sumatra terus berlanjut. Selama periode 2007-2017 populasi gajah sumatra menurun 21,2% atau setara dengan kehilangan sekitar 700 individu, dan jumlahnya di alam menjadi sekitar 1.694-2.038 individu pada tahun 2017. Hasil penghitungan di tahun 2019, jumlah gajah sumatra di alam diperkirakan tinggal 928-1.379 individu yang kondisinya tersebar di 23 kantong populasi yang terpisah satu sama lain di pulau yang dikenal juga sebagai Andalas ini.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation yang juga dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Dr. Dolly Priatna, pada saat menjadi narasumber panel tersebut mengatakan bahwa penurunan drastis jumlah populasi gajah sumatra di habitat alaminya antara lain dipicu oleh kehilangan habitat akibat alih fungsi kawasan hutan, perburuan, serta konflik antara manusia dengan gajah.

Interaksi negatif antara manusia dengan gajah sumatra yang intensitasnya semakin tinggi dalam satu dekade terakhir,  merupakan masalah serius dalam upaya konservasi gajah sumatra. Interaksi negatif yang kerap menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat, dapat menurunkan level toleransi masyarakat terhadap kehadiran gajah sumatra di sekitar pemukiman mereka.

Dolly menambahkan, populasi gajah sumatra yang ada di Lanskap Sugihan-Simpang Heran merupakan salah satu kantong populasi yang sangat penting bagi masa depan gajah sumatra. Dengan jumlah populasi sekitar 100-120 individu, klan gajah liar yang hidup di lanskap dengan ekosistem rawa gambut, rawa payau, dan mangrove ini memiliki potensi besar untuk hidup secara jangka panjang.

Namun tantangannya juga besar. Lanskap Sugihan-Simpang Heran yang luasnya lebih kurang 600.000-700.000 hektar ini merupakan sebuah kawasan mosaik yang terdiri atas hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, sawah-ladang dan pemukiman masyarakat, serta kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan yang luasnya hanya sekitar 75.000 hektar saja, atau 10-12% dari luas keseluruhan lanskap. Kecuali itu, gajah-gajah liar yang berhabitat di bentang alam ini juga hidup dalam beberapa kelompok kecil yang terpisah satu sama lain. Oleh karenanya, diperlukan satu pendekatan khusus yang inovatif untuk memastikan semua kepentingan dapat terakomodasi.

“Selain mengoptimalkan fungsi koridor ekologis yang telah disepakati para pemangku kepentingan untuk mengakomodasi terjadinya interaksi gajah antar kelompok, diperlukan upaya jitu untuk solusi terbaik atas semakin seringnya rombongan gajah liar masuk desa dan memakan tanaman padi masyarakat”, ujar Dolly. Meski tidak mudah, ia percaya bahwa konsep koeksistensi atau hidup berdampingan secara harmonis bisa diterapkan dalam mitigasi konflik manusia-gajah di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, asalkan semua stakeholders yang ada lanskap seperti pemerintah pusat dan daerah, para pelaku usaha, lembaga konservasi, akademisi, serta media, bahu-membahu membangun strategi bersama yang saling bersinergi.

“Diperlukan adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari semua pihak agar hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan gajah sumatra yang kita impikan bersama dapat terwujud”, lanjut Dolly. “Untuk mendukung upaya tersebut, sejauh ini upaya yang kami lakukan bersama para mitra berfokus pada beberapa aspek prioritas, antara lain peningkatan kapasitas bagi kelompok mitigasi konflik manusia-gajah, mendukung infrastruktur mitigasi konflik seperti menyediakan menara pemantauan,  kegiatan penyadartahuan dan edukasi bagi anak-anak usia dini, serta pengayaan pakan gajah dan menyediakan “artificial saltlicks” (tempat menggaram buatan) di dalam kawasan hutan produksi untuk memenuhi kebutuhan mineral yang menjadi nutrisi tambahan bagi gajah”, pungkas Dolly, yang juga pengajar Program Studi Manajemen Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pakuan.

Pada waktu yang sama, President of Conservation Allies, Dr. Paul Salaman mengatakan bahwa panel ini diperuntukan bagi mitra kami yang berasal dari Asia, termasuk Belantara Foundation, untuk mempromosikan upaya konservasi satwa liar yang dilakukan di negara masing-masing guna menggalang dukungan dari masyarakat global.

“Kami berkomitmen kuat untuk mendukung program konservasi gajah sumatra yang dijalankan Belantara Foundation di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan melalui hibah, penggalangan dana publik, serta peningkatan kapasitas yang dibutuhkan. Dana yang terkumpul akan dikelola secara transparan dan dialokasikan sepenuhnya untuk mendukung kegiatan di lapangan”, tegas Paul.

Di tempat yang sama, Dirjen KSDAE Kemenhut RI, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, M.Agr.Sc., yang mengikuti berjalannya panel diskusi, menyambut baik serta mengapresiasi kemitraan Belantara Foundation dan Conservation Allies untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam upaya konservasi gajah sumatra, khususnya untuk mewujudkan koeksistensi di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan.

Lebih lanjut, Prof. Satyawan menekankan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, gajah sumatra termasuk ke dalam satwa liar dilindungi. Juga, menurut the International Union for Conservation of Nature's Red List of Threatened Species (IUCN), saat ini gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) berstatus Critically Endangered (kritis). Terlebih lagi, berdasarkan status perdagangan internasional yang diatur oleh CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), gajah sumatra termasuk ke dalam kategori Appendix 1 yang artinya dilarang diperdagangkan.

“Inisiatif ini sangat bagus. Kami berharap bahwa program ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam meminimalkan interaksi negatif manusia-gajah, dan dapat mengubahnya menjadi sebuah koeksistemsi yang harmonis antara masyarakat dengan gajah sumatra di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan”, pungkas Prof. Satyawan. (*)

Terkini