
Kerut di dahi seorang pemimpin bukanlah sekadar lipatan waktu. Ia adalah simpul beban yang dipikul bersama rakyatnya. Di tanah bertuah ini, tanah Riau yang menjunjung tinggi marwah dan adat, kita tahu bahwa setiap bilangan angka dalam daftar defisit bukan sekadar soal keuangan. Ia adalah cermin dari pembangunan yang tersendat, janji yang tertunda, dan harapan yang mulai digerogoti oleh ragu.
Namun, dalam menghadapi gelombang yang mengguncang ini, Gubernur Riau, Abdul Wahid, memilih langkah yang tidak biasa namun sarat semangat Melayu: berpantang surut sebelum berikhtiar.
Bukan dengan keluh. Bukan dengan ratap. Tetapi dengan gerak. Dengan tekad. Dengan adab.
Strategi yang beliau tempuh, “jemput bola” ke pusat kekuasaan bukanlah sekadar upaya administratif. Itu adalah wujud dari falsafah Melayu yang luhur, bahwa pemimpin sejati tak menunggu nasib, tetapi menjemput takdir dengan daya upaya dan kehormatan, dan itu tidak dilakukan sendiri. Gubernur Wahid menggandeng para bupati dan wali kota se-Riau, menyatukan suara, menyatukan langkah. Dan dengan itu, Riau tampil bukan sebagai daerah yang meminta-minta, tapi sebagai satu suara yang membawa martabat.
Apa yang bisa kita petik dari langkah ini?
Pertama, marwah sebagai fondasi strategi.
Dalam budaya Melayu, marwah adalah harga diri yang tak boleh luntur. Maka ketika Gubernur Wahid membawa rombongan pemimpin daerah ke pusat, ia tidak sedang menunjukkan kelemahan, tetapi keberanian kolektif. Ia menegaskan bahwa Riau bukan milik satu orang, melainkan tanggung jawab bersama. Bahwa masalah daerah tidak bisa dipikul oleh satu pundak, tapi harus diangkat dalam satu barisan. Dan barisan itulah kekuatan sesungguhnya.
Kedua, ikhtiar sebagai bentuk tanggung jawab.
Mengakui adanya defisit anggaran adalah perkara besar di panggung pemerintahan. Tapi, yang jauh lebih besar adalah keberanian untuk tidak diam. Gubernur Wahid tahu bahwa harapan rakyat tak bisa ditunda, sebagaimana adat tak bisa dilanggar. Maka beliau melangkah, mengetuk pintu satu per satu, menjelaskan dengan bahasa yang jernih dan niat yang tulus. Bukan dengan retorika, tapi dengan wajah terbuka dan maksud yang jelas: Riau butuh uluran, bukan belas kasihan, melainkan keadilan.
Ketiga, hasil sebagai buah dari adab dan tekad.
Apa yang dilakukan bukan sia-sia. Lobi-lobi kolektif yang dilakukan dengan terukur dan bersungguh hati membuahkan hasil: proyek flyover di Jalan Garuda Sakti akhirnya disetujui pembiayaannya oleh pemerintah pusat. Ini bukan pencitraan. Ini adalah hasil dari diplomasi yang dilakukan dengan ketekunan dan tata cara. Dalam adat Melayu, keberhasilan bukan hanya dinilai dari hasilnya, tetapi dari cara meraihnya. Dan cara itu telah ditempuh dengan hormat.
Langkah “jemput bola” yang beliau lakukan bukan hanya soal strategi fiskal, tapi narasi kepemimpinan Melayu yang hidup: teguh dalam badai, santun dalam laku, dan jernih dalam tujuan. Ini adalah pelajaran penting, bahwa bahkan dalam keterbatasan, kita masih bisa menjaga marwah jika kita tahu ke mana harus melangkah, dan dengan siapa kita berjalan.
Masa depan Riau tidak akan datang dengan sendirinya. Ia harus dijemput. Dan cara menjemputnya bukan dengan gegap gempita, tapi dengan akal, adab, dan langkah yang terukur. Gubernur Abdul Wahid telah menunjukkan bahwa seorang pemimpin Melayu bukan hanya pengelola wilayah, tetapi penjaga martabat, penuntun arah dan penyangga harap.
Maka hari ini, saat kita menyaksikan satu per satu jalan pembangunan mulai terbuka, kita tahu, ini bukan semata hasil lobi, ini buah dari semangat. Dari tekad yang pantang menyerah. Dari adat yang tak hilang arah.
Penulis: Iben Nuriska, pengamat sosial budaya dan bermastautin di Riau